PERAN SEKOLAH DAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Arul Oktavian
2011-33-135
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Gurun Sekolah Dasar
(PGSD)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muria Kudus
Dipersembahkan untuk Memenuhi Tugas Aplikasi Bahasan
Indonesia
Abstrak
Penanaman
nilai kepada anak didik butuh keseriusan dan waktu yang panjang. Nilai
ditanamkan kepada anak, semenjak dalam kandungan sampai dewasa. Artinya
pendidikan adalah proses yang dijalani seumur hidup. Dalam hadis nabi SAW.
Bersabda: utlubul ilmu minal mahdi ilal
lahdi. Artinya tuntutlah ilmu dari ayunan sampai keliang lahat dari
hadis ini terkandung makna bahwa pendidikan itu tidak terhenti dilikungan
sekolah saja namun tetap berjalan di semua lingkungan tempat peserta
didik tumbuh dan berkembang, yaitu lingkungan keluarga dan masyarakat. Ketiga
komponen inilah yang bertanggung jawab dalam menentukan sikap dan karakter
peserta didik sesuai yang diinginkan.
Pendidikan karakter kembali
menemukan momentumnya belakangan ini; bahkan menjadi salah satu program
prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kemendikbudnas). Meski
sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak perbincangan baik
melalui konperensi, seminar dan pembicaraan publik lainnya, belum banyak
terobosan kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter. Dengan kebijakan
Kemendikbudnas, pendidikan karakter sudah saatnya dapat terlaksana secara
kongkrit melalui lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat luas.
Segera jelas, pendidikan karakter
terkait dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan agama.
Ketiga-tiga bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai
yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau
kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi
panutan bagi masyarakat. Pendidikan—selain mencakup proses transfer dan
transmissi ilmu pengetahuan—juga merupakan proses sangat strategis dalam
menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga
mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk
mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.
Tetapi, ketiga sumber nilai yang
penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional
sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang berkarakter,
berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi
mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak
luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali
globalisasi.
Pada
hakikatnya, manusia memiliki kemampuan untuk meningkatkan kehidupannya, baik
untuk meningkatkan pengetahuan, maupun untuk mengembangkan kepribadian dan
keterampilannya. Untuk meningkatkan kehidupannya itu, manusia akan selalu
berusaha mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Usaha itu disebut dengan
pendidikan. Dalam GBHN 1973, dikemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha
yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang
dilaksanakan di dalam maupun diluar sekolah.
I.
Pendahuluan
Pembicaran
tentang membangun kembali watak dan karakter guna revitalisasi kebangggaan dan
kehormatan bangsa telah memenuhi ruang publik sejak jatuhnya Presiden Soeharto
dari kekuasaannya pada 1998 hingga sekarang ini—telah lebih daripada satu
dasawarsa. Perubahan-perubahan dramatis, cepat dan berjangka panjang dalam
kehidupan politik yang pada gilirannya juga menimbulkan disorientasi sosial dan
kultural memunculkan wacana dan harapan tentang perlunya pembentukan kembali
watak bangsa; ungkapan Presiden pertama RI, Soekarno tentang ‘nation and
character building’ kembali menemukan relevansinya.
Berakhirnya
kekuasaan Orde Baru, berbarengan dengan munculnya krisis dalam berbagai aspek
kehidupan bangsa telah menimbulkan krisis pula dalam watak dan ketahanan
bangsa. Semakin derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai bentuk dan
ekspresi budaya global merupakan faktor tambahan penting yang mengakibatkan
pengikisan watak bangsa berlangsung semakin lebih cepat dan luas. Akibat lebih
lanjut, krisis watak bangsa menimbulkan disrupsi dan dislokasi dalam kehidupan
sosial dan kultural bangsa, sehingga dapat mengancam integritas dan ketahanan
bangsa secara keseluruhan.
Masa sejak
masa pasca-Soeharto sampai sekarang ini yang sering disebut sebagai “masa
reformasi” kita agaknya hanya mampu mewujudkan sebagian dari cita-cita
pembentukan masyarakat Indonesia yang berkarakter; tetapi masih banyak lagi
agenda yang harus dilakukan. Untuk menyebut satu bidang kehidupan saja,
Indonesia memang menjadi lebih demokratis, bahkan kini mungkin “terlalu
demokratis”. Jika pada masa Soeharto kita memiliki “too little too late
democracy”, kini kita agaknya mempunyai “too much democracy”, yang
secara salah masih saja diekspresikan dalam bentuk demonstrasi yang
berkepanjangan. Dengan demikian, konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya
terwujud, meski Indonesia sukses melaksanakan Pemilu legislatif dan
Presiden 2004; Pemilu Legislatif 9 April 2009, dan Pilpres 8 Juni 2009,
yang juga berjalan relatif aman, dan damai. Namun pada pihak lain, Pemilukada
yang berlangsung seolah-olah tidak pernah putus di berbagai daerah sering
berujung konflik horizontal; keadaban nyaris lenyap dalam aksi-aksi massa yang
terlibat dalam pertikaian politik.
Dengan
begitu terlihat bahwa masyarakat kita mengalami berbagai disorientasi. Karena
itulah harapan dan seruan dari berbagai kalangan masyarakat kita dalam beberapa
tahun terakhir untuk pembangunan kembali watak atau karakter kemanusiaan
melalui pendidikan karakter menjadi semakin meningkat dan nyaring. Kebijakan
Kemendikbudnas mengutamakan pendidikan karakter dapat menjadi momentum
penting dalam konteks ini di tanah air kita.
Jika dilacak
lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu terkait banyak dengan
semakin tiadanya harmoni dalam keluarga (Cf. International Education Foundation
2000). Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan hanya karena menghadapi
krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya
hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama,
sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup
hedonistik dan materialistik; dan permissif sebagaimana banyak ditayangkan
dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya
mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumahtangga.
Akibatnya,
tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari keluarga dan rumahtangga
hampir tidak memiliki watak dan karakter. Banyak di antara anak-anak yang alim
dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan
obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti
perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak
memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam
karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality).
Sekolah
menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan sekolah selalu
menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa. Padahal,
sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang overload,
fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang
rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan relevansinya
dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan
sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building,
tempat pengajaran daripada pendidikan.
II.
Tinjauan Pustaka
2.1 URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER: Di Lingkungan
Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat
Saat ini kita tengah berada di pusaran hegemoni media, revolusi ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek), yang tidak hanya mampu menghadirkan
sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga
mengundang serentetan persoalan dan kekhawatiran. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat mengurangi atau bahkan menihilkan nilai kemanusiaan atau yang
disebut dehumanisasi.
Ibarat cerita Raja Midas yang menginginkan
setiap yang disentuhnya menjadi emas, ternyata ketika keinginannya dikabulkan
dia tidak semakin senang, tetapi semakin resah bahkan gila. Sebab, tidak saja
rumah dan seisi rumah yan menjadi emas, tetapi istri dan anak yang disentuh pun
menjadi emas sehingga sang raja pun akhirnya meratapi nasib yang kesepian tanpa
ada makhluk hidup yang mendampinginya.
Kemajuan zaman yang terjadi saat ini, yang
semula dipandang akan memudahkan pekerjaan manusia, kenyataannya juga
menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi manusia, yaitu kesepian dan
keterasingan baru, yang ditandai dengan lunturnya rasa solidaritas,
kebersamaan, dan silaturrahim.
Contohnya, penemuan televisi, komputer, dan handphone telah mengakibatkan
sebagian masyarakat terutama remaja dan anak-anak terlena dengan dunia layar.
Layar kemudian menjadi teman setia. Hampir setiap bangun tidur menekan tombol
televisi untuk melihat layar, mengisi waktu luang dengan menekan tombol handphone melihat layar untuk
bersms ria, main game atau facebook-an. Akibatnya, hubungan antar anggota keluarga menjadi renggang.
Ini menunjukkan bahwa terknologi layar mampu membius sebagian besar remaja dan
anak-anak untuk tunduk pada layar dan mengabaikan yang lain.
Thomas Lickona mengungkapkan sepuluh
tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda ini terdapat
dalam suatu bangsa, berarti bangsa tersebut sedang berada di tebing jurang
kehancuran. Tanda-tanda tersebut di antaranya: Pertama, Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Kedua, Penggunaan bahasa dan
kata-kata yang memburuk. Ketiga, Pengaruh peergroup yang kuat dalam tindak kekerasan. Keempat, Meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti penggunaan
narkoba, alkohol dan perilaku seks bebas. Kelima, Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. Keenam, Menurunnya etos kerja. Ketujuh, Semakin rendahnya rasa
hormat pada orangtua dan guru. Kedelapan, Rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara. Kesembilan, Membudayanya
ketidakjujuran. Dan kesepuluh, Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Diakui dan disadari atau tidak, perilaku
masyarakat kita sekarang terutama remaja dan anak-anak menjadi sangat
mengkhawatirkan, karena mengarah kepada apa yang disebut oleh Lickona di atas.
Meningkatnya kasus penggunaan narkoba, pergaulan/ seks bebas, maraknya angka
kekerasan anak-anak dan remaja, kebiasaan menyontek, dan lain-lain menjadi
masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Berbagai kejadian dan fenomena yang terjadi
di atas semakin membuka mata kita bahwasanya diperlukan obat yang mujarrab dan ampuh untuk bisa
menyelesaikan persoalan tersebut. Pendidikan karakter mungkin bisa menjadi
salah satu solusi untuk mengatasi semua persoalan demikian. Alasan-alasan
kemerosotan moral, dekadensi kemanusiaan yang sesungguhnya terjadi tidak hanya
dalam generasi muda, namun telah menjadi ciri khas abad kita, seharusnya
membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan karakter.
Diakui, persoalan karakter atau moral memang
tidak sepenuhnya terabaikan. Akan tetapi, dengan fakta-fakta seputar
kemerosotan karakter pada sekitar kita menunjukkan bahwa ada kegagalan pada
fungsi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam hal menumbuhkan
remaja dan anak-anak yang berkarakter dan berakhlak mulia.
Padahal karakter yang positif atau mulia
yang dimiliki remaja dan anak-anak kelak akan mengangkat status derajatnya.
Kemuliaan seseorang terletak pada karakternya. Karakter begitu penting, karena
dengan karakter yang baik membuat seseorang tahan dan tabah dalam menghadapi
cobaan, dan dapat menjalani hidup dengan sempurna. Kestabilan hidup seseorang
amatlah bergantung pada karakter. Karakter membuat individu menjadi matang,
bertanggung jawab dan produktif.
Atas kondisi demikian, banyak yang
sependapat mengatasi persoalan kemerosotan dalam dimensi karakter ini. Para
pembuat kebijakan, dokter, pemuka agama, pengusaha, pendidik, orangtua dan
masyarakat umum menyuarakan kekhawatiran yang sama. Setiap hari berita berisi
tragedi yang mengejutkan dan statistik mengenai remaja dan anak-anak membuat
kita tercengang, khawatir, dan berusaha mencari jawaban atas persoalan
tersebut.
Bahkan situasi dan kondisi karakter bangsa
yang sedang memprihatinkan telah mendorong pemerintah untuk mengambil inisiatif
untuk memprioritaskan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa
dijadikan arus utama pembangunan nasional. Hal ini mengandung arti bahwa setiap
upaya pembangunan harus selalu diarahkan untuk member dampak positif terhadap
pengembangan karakter. Mengenai hal ini secara konstitusional sesungguhnya
sudah tercermin dari misi pembangunan nasional yang memposisikan pendidikan
karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi
pembangunan nasional, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang 2005-2025, “Terwujudnya
masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan
beradab berdasarkan falsafah Pancasila…”.
Pada Bab IV tentang Arah, Tahapan, Dan
Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025, masih dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025,
menguraikan bahwa “Terwujudnya masyarakat
Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila…” tersebut ditandai
oleh: “… Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan
dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam,
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi
iptek.”
Pembentukan karakter juga merupakan salah
satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 menyebutkan
bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta
didik untuk mempunyai kecerdasan, kepribadian, dan akhlak yang mulia. Amanah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 ini bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia
yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan
lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika
memberikan kata sambutan pada puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional
(Hardiknas) 2010 di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 11 Mei 2010 yang bertemakan
“Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”, Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono mengemukakan ada lima isu penting dalam dunia pendidikan. Pertama, Hubungan pendidikan dengan
pembentukan watak atau dikenal dengan character
building. Kedua, Kaitan pendidikan dengan kesiapan dalam menjalani kehidupan
setelah seseorang selesai mengikuti pendidikan. Ketiga, Kaitan pendidikan dengan lapangan pekerjaan. Ini juga menjadi
prioritas dalam pembangunan lima tahun mendatang. Keempat adalah bagaimana membangun masyarakat berpengetahuan atau knowledge society yang dimulai dari
meningkatkan basis pengetahuan masyarakat. Kelima, Bagaimana membangun budaya inovasi.
Menteri Pendidikan Nasional dalam
sambutannya pada peringatan Hari Pendidikan Nasional Tanggal 2 Mei 2010 juga
menekankan bahwa pembangunan karakter & pendidikan karakter merupakan suatu
keharusan, karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi
cerdas juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga keberadaannya
sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun masyarakat
pada umumnya. Bangsa yang berkarakter unggul, di samping tercermin dari moral,
etika dan budi pekerti yang baik, juga ditandai dengan semangat, tekad dan
energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dan sikap yang optimis, serta
dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi. Totalitas dari
karakter bangsa yang kuat dan unggul, yang pada kelanjutannya bisa meningkatkan
kemandirian dan daya saing bangsa, menuju Indonesia yang maju, bermartabat dan
sejahtera di Abad 21.
Dari Mana Kita Mesti Mulai?
Dalam proses pendidikan karakter, sebelum
mengenal masyarakat yang lebih luas dan sebelum mendapat bimbingan dari
sekolah, seorang anak lebih dulu memperoleh bimbingan dari keluarganya. Dari
kedua orang tua, untuk pertama kali seorang anak mengalami pembentukan karakter
dan mendapatkan pengarahan moral. Dalam keseluruhannya, kehidupan anak juga
lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan keluarga. Itulah sebabnya, pendidikan
keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan
peletak pondasi dari karakter dan pendidikan setelahnya. Dalam hal ini, orang
tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai peserta didik.
Menurut pendapat al-Ghazali, anak-anak
adalah suatu hal yang sangat penting sekali, karena anak sebagai amanat bagi
orang tuanya. Hati anak suci bagaikan mutiara cemerlang, bersih dari segala
ukiran serta gambaran, ia dapat mampu menerima segala yang diukirkan atasnya
dan condong kepada segala yang dicondongkan kepadanya. Maka bila ia dibiasakan
ke arah kebaikan dan diajar kebaikan jadilah ia baik dan berbahagia dunia
akhirat, sedang ayah serta para pendidik-pendidiknya turut mendapat bagian
pahalanya. Tetapi bila dibiasakan berperilaku jelek atau dibiarkan dalam
kejelekan, maka celaka dan rusaklah ia, sedang wali serta pemeliharanya
mendapat beban dosanya. Untuk itu wajiblah wali menjaga anak dari perbuatan
dosa dengan mendidik dan mengajarnya berakhlak bagus, menjaganya dari pengaruh
buruk lingkungan dan teman-temannya.
Tugas orang tua ini akan lebih jelas lagi
bila dihubungkan dengan firman Allah, “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS at-Tahrim: 6).
Keluarga sebagai salah satu dari lingkungan
pendidikan yang paling berpengaruh atas jiwa anak, karena keluarga adalah lingkungan
pertama di mana manusia melakukan komunikasi dan sosialisasi diri dengan
manusia lain selain dirinya. Di lingkungan keluarga pula manusia untuk pertama
kalinya dibentuk; baik sikap maupun kepribadiannya. Maka keluarga mesti
menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang
menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan.
Dalam perspektif pendidikan Islam, agar
keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka
sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya.
Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai,
kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan
pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama
juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak dibolehkan menikah karena ada
hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam, yaitu syirik atau menyekutukan
Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara seorang pria suci dengan
perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan dalam perkawinan
baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan
memperhatikan persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang
mampu menjalankan tugasnya—salah satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar
menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka.
Karena besarnya peran keluarga dalam
pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip Ramayulis (2008),
mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi
dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik
adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik,
juga sebagai penanggung jawab. Oleh karena itu, orang tua dituntut menjadi
teladan bagi anak-anaknya, baik berkenaan dengan ibadah, akhlak, dan
sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang baik dapat terbentuk sejak
dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan
karakter selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk memenuhi harapan tersebut, Al-Qur’an
juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan
membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an
memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah,
warahmah. Firman Allah SWT: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir” (QS ar-Rum: 21).
Selain itu, fungsi keluarga dalam kajian
lingkungan pendidikan Islam, sekurang-kurangnya ada dua, yaitu: (a) Keluarga sebagai institusi sosial.
Di sini orang tua berkewajiban mengembangkan fitrah dan bakat yang dimiliki
anaknya. Pendidikan dalam perspektif ini harusnya tidak menempatkan anak
sebagai objek yang dipaksa mengikuti nalar dan kepentingan pendidikan, tetapi
sebaliknya pendidikan pada anak berarti mengembangkan potensi dasar yang
dimiliki anak yang dimaksud. Potensi yang dimaksud cenderung pada kebenaran.
Karena ia cenderung pada kebenaran, maka orang tua dituntut untuk
mengarahkannya. Dalam kaitannya sebagai institusi sosial, maka keluarga menjadi
bagian dari masyarakat dan negara. Tanggung jawab sosial dalam keluarga akan
menjadi kesadaran bagi perwujudan masyarakat yang baik. Seperti kita mafhumi,
keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama. Di lingkungan ini anak akan
diperkenalkan dengan kehidupan sosial. Adanya interaksi antara anggota keluarga
yang satu dengan keluarga yang lain menyebabkan ia menjadi bagian dari
kehidupan sosial. (b) Keluarga sebagai institusi keagamaan. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang dapat dididik dan membutuhkan pendidikan. Yang jauh
lebih penting lagi adalah peran orangtua menanamkan nilai-nilai keagamaan dan
keimanan anak. Aspek ini membutuhkan kasih sayang, asuhan, dan perlakuan yang
baik. Termasuk yang jauh lebih penting lagi adalah peran orangtua menanamkan
nilai-nilai keagamaan dan keimanan anak. Model pendidikan keimanan yang
diberikan orangtua kepada anak dituntut agar lebih dapat merangsang anak dalam
mencontoh perilaku orangtuanya (uswatun hasanah).
Setelah keluarga, sekolah merupakan lembaga
pendidikan formal, yang menentukan dalam pembentukan kepribadian seorang anak.
Bahkan sekolah, madrasah atau pesantren bisa disebut sebagai lembaga pendidikan
kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan,
mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu
pengetahuan.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991)
menyebutkan bahwa disebut sekolah bilamana dalam pendidikan tersebut diadakan
di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun
waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Di Indonesia, tampak ada dua jenis
pendidikan, yaitu pendidikan umum dan pendidikan Islam. Yang dikelompokkan
kepada jenis pendidikan umum yaitu SD, SLTP, SMU/ SMK dan Perguruan Tinggi,
sementara lembaga pendidikan yang kemudian diidentikkan dengan lembaga
pendidikan Islam adalah pesantren, madrasah—Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi Islam
dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN
dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang berdasarkan
kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan yang dianut.
Tidak hanya keluarga dan sekolah dalam hal
ini, masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian
penting dalam proses pendidikan karakter, tetapi tidak mengikuti
peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari
sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan
peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan
karakter, masyarakat memiliki juga mempunyai tanggung jawab yang sama dalam
mendidik.
Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan
yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan
karakter. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung
jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu,
dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang
mendukung pendidikan karakter anak dan menghindari masyarakat yang buruk.
Sebab, ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang
kurang baik, maka perkembangan kepribadian atau karakter anak tersebut akan
bermasalah.
Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga,
orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai
tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah
sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung
dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut.
Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa
melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau,
Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman,
pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah
memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat
sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat
harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan
yang terjadi di dalamnya. Di Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan
berbasis masyarakat (community based
education) sebagai upaya untuk memberdayakan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering
dikaitkan dengan penyelenggaraan lembaga pendidikan formal (sekolah), akan
tetapi dengan konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat
dibutuhkan serta keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan
pendidikan karakter di suatu lembaga pendidikan formal.
Sebagai penutup, pendidikan karakter yang
dicita-citakan hasilnya tidak akan sesuai dengan yang diharapkan ketika salah
satu dari pusat pendidikan karakter di atas (keluarga, sekolah, dan masyarakat)
tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Untuk mengimplementasikan pendidikan
karakter yang berkualitas, maka ketiga lembaga atau lingkungan pendidikan di
atas perlu bekerja sama secara harmonis.
2.2 Keragaman
Budaya dan Multikulturalisme
Padahal dengan membangun karakter kita
dapat memperkokoh jati diri dan ketahanan masyarakat Indonesia multi-kultural,
yang memiliki berbagai ragam budaya. Keragaman budaya merupakan salah satu
kekayaan bangsa ini, yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain. Bahkan secara
konstitusional, baik dalam UUD 1945, Pancasila maupun dalam prinsip
negara bhinneka tunggal ika, keragaman budaya itu sudah mendapatkan
landasannya yang kuat.
Pengakuan terhadap keragaman budaya
itu hampir sama sebangun dengan prinsip multikulturalisme, yang berdasarkan
pada ‘politik pengakuan’ (politics of recognition), mengakui setiap
warga memiliki posisi yang setara satu sama lain. Tak kurang pentingnya,
pengakuan terhadap keragaman itu didasarkan pada prinsip saling menghormati dan
menghargai di tengah berbagai perbedaan yang ada.
Keragaman budaya dan
multi-kulturalisme di tanahair kita dapat terancam jika masing-masing entitas
dan kelompok budaya hanya mengunggulkan budaya masing-masing, dan pada saat
yang sama kurang atau tidak menghargai budaya lainnya. Karena itu, penghargaan
pada keragaman budaya mesti tidak dipandang telah selesai atau dibiarkan
berkembang dengan sendirinya; sebaliknya justru harus diperkuat terus menerus
melalui berbagai jalur interaksi sosial dan pendidikan pada berbagai levelnya.
Dalam konteks itu kita juga mesti
memperkuat bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan ketahanan;
berkepribadian dan berkarakter yang tangguh; berpegang teguh pada nilai-nilai
demokratis dan keadaban; menghargai tinggi law and order; berkeadilan
sosial, politik, dan ekonomi; memiliki kesalehan individual formal dan
kesalehan komunal-sosial sekaligus; berkeadaban (civility) dalam lingkup
civil society; menghargai keragaman dan kehidupan multikultural; dan
memiliki perspektif lokal, nasional dan global sekaligus. Daftar ciri-ciri
ideal ini tentu saja masih bisa ditambah lagi.
Keadaban (civility) ini
penting ditekankan. Karena dalam beberapa tahun terakhir masyarakat kita
cenderung semakin kehilangan “keadaban” (civility). Kita menyaksikan
amuk massa; tawuran kini tidak lagi hanya terjadi di lingkungan pelajar dan
kampung, tetapi juga antar mahasiswa—bahkan di lingkungan satu perguruan
tinggi. Merosotnya keadaban ini juga bisa disaksikan pada berbagai kalangan
masyarakat lainnya; sejak semakin meluasnya KKN melalui “desentralisasi”
korupsi yang menumpang desentralisasi dan otonomi daerah. Banyak anak bangsa
telah kehilangan “rasa malu”, sehingga keadabannya hampir tidak terlihat sama
sekali. Bisa dipastikan, kenyataan ini merupakan gejala terjelas dari krisis
sosial yang semakin parah dalam masyarakat kita. Karena itulah kita perlu
kembali berbicara tentang pendidikan karakter.
III. Uraian
3.1
Pendidikan Karakter
Sekarang ini mulai digadang-gadangkan pendidikan
karakter. Dulu juga sudah, tapi mungkin proses dan hasilnya kurang dari apa
yang diharapkan, maka wacana akan pendidikan ini digeliatkan lagi. Mengapa
pendidikan karakter, ada apa dengan karakter anak bangsa Indonesia?
Jika kita memperhatikan manusia Indonesia produk paruh
kedua abad terakhir ini, cukup rasanya membuat perasaan kita miris. Fenomena
anomali yang bersifat ironi dan paradoks menjadi tayangan yang dapat disaksikan
dalam keseharian kita. Pendidik yang seharusnya mendidik malah harus dididik,
penegak hukum yang semestinya menegakkan hukum ternyata harus dihukum, pejabat
yang seyogianya melayani masyarakat, terbalik minta dilayani, dan orang-orang
ternama yang hendaknya jadi panutan malah mempertontonkan laku jelek.
Semua yang tersebut di atas bersumber dari karakter.
Dalam bahasa agama, akhlak. Karena itu menjadi amat penting dan mendesak untuk
dilembagakan suatu pola pendidikan yang menekankan kebaikan karakter. Orang
lebih dapat eksis dengan karakter yang baik daripada dengan otak cerdas tapi
perilaku tercela. Bahkan menurut penelitian Daniel Goleman, kecerdasan otak
atau IQ hanya menyumbang 20 persen bagi kesuksesan hidup seseorang, sedang 80
persennya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.
Dalam ungkapan Inggris, habit is second nature,
kebiasaan adalah watak kedua. Artinya, karakter yang terlembaga pada diri
seseorang itu tidak lain adalah tumpukan-tumpukan kebiasaan yang bermula dari
sesuatu yang kecil saja. Sebagaimana tersebut dalam pepatah, “Sow a thought,
reap an action; sow an action, reap a habit; sow a habit, reap a character; sow
a character, reap a destiny.” Taburlah gagasan, tuailah perbuatan; taburlah
perbuatan, tuailah kebiasaan; taburlah kebiasaan, tuailah karakter; dan
taburlah karakter, maka tuailah takdir.
Mengutip apa yang dikatakan Aristotelis: “we are
what we repeatedly to do. Excellence, then, is not an act, but a habit,”
kita adalah apa yang kita lakukan secara berulang-ulang. Karena itu, keunggulan
bukanlah suatu perbuatan, melainkan suatu kebiasaan. Maka sebenarnya yang
dimaksudkan dalam pendidikan karakter adalah pendidikan habituatif, yaitu
pendidikan untuk membiasakan nilai-nilai kebaikan di dalam kehidupan anak sejak
dini.
Kembali meminjam bahasa agama, bahwa manusia itu pada
hakikatnya adalah baik. fitrah manusia itu adalah hanif, lurus, tidak
membangkang pada kebaikan yang sudah dipatenkan Tuhan. Hanya saja, dalam
perjalanan, berbagai hal mempengaruhi hidupnya, sehingga menjadilah ia sebagai
mana ia menjadi. Tetapi perlu diingat, bahwa karakter bukanlah sesuatu yang
bersifat statik, permanen, ia tidak lain hanyalah jalinan yang tercipta dari
suatu kebiasaan, sedang kebiasaan itu bisa diubah. Meski sulit, tapi tidak ada
yang mustahil.
Bagaimana menerapkan pendidikan karakter di tengah
kehidupan yang anomali dan paradoks ini? Tentu bukan sesuatu yang mudah, namun
juga bukan suatu yang mustahil untuk dilakukan dan nihil dalam menghasilkan
tujuan. Masih besar kemungkinan, dan masih panjang perjalanan untuk terus
melakukan sesuatu yang berarti.
Pendidikan karakter masuk kelas, itu
memang seharusnya. Lebih dari itu, ia juga harus ditanamkan melalui
kegiatan-kegiatan pembiasaan yang pelaksanaannya baik dilakukan secara spontan,
terencana, maupun melalui keteladanan. Perlu diingat kembali pepatah tersebut
di atas, bahwa sumber perilaku itu adalah pikiran. Dari mana pikiran itu
tercipta, bisa melalui proses abstraksi dari apa yang dilihat, hubungan
pergaulan yang dirasa, dan pengetahuan yang didengar dari
guru-guru.
Menarik untuk diketengahkan, dalam
suatu pendidikan pesantren, pimpinan Pondok Modern Gontor Ponorogo selalu
menekankan ucapan ini pada santri-santrinya, bahwa apa yang kamu lihat, kamu
dengar, dan kamu rasakan di Pondok modern ini adalah pendidikan. Karena itu
semua yang ada di Pondok harus terlibat dan berupaya menonjolkan sesuatu yang
terbaik dari dirinya, agar semuanya mendapatkan pelajaran.
Seorang pendidik yang baik
setidaknya sadar, bahwa penglihatan, perasaan, dan pendengaran biasanya
bersifat sequence atau berurutan. Seorang anak akan sulit menerima
tuturan-tuturan bijak yang didengarnya dari sang guru kalau dia melihat tindakan
dan merasakan hubungan yang tidak baik dari gurunya. Karena itu penting untuk
meneladankan nilai-nilai kebaikan dalam perilaku sehari-hari agar para murid
melihat; menciptakan hubungan yang baik agar mereka merasa; dan mengarahkan
mereka pada suatu hal yang baik dan benar agar mereka mau mendengar dan
melakukan.
Apa yang dilihat anak memberi andil yang cukup besar
dalam melahirkan pikiran untuk berperilaku. Karena itu dalam kegiatan
intrakurikuler dan ekstrakurikuler, pendidikan karakter harus dimasukkan. Dalam
kurikulum muatan lokal misalnya, seorang guru bisa saja mengajak anak-anak
didik ke luar kelas untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mendidik dari
lingkungan. Bukankah prinsip dari kurikulum ini adalah memperkenalkan pada anak
wawasan budaya bangsa, lingkungan, dan keterampilan daerah.
Namun sekolah hanyalah tangan kedua,
pada dasarnya yang paling berpengaruh dalam membetuk karakter anak adalah
keluarga. Masalahnya orang tua sekarang banyak yang tidak punya waktu untuk
memberikan perhatian pada wilayah ini, bahkan untuk mau tahu saja sulit.
Buktikan saja, berapa banyak orang tua yang meluangkan waktu untuk menambah
pengetahuan dengan membaca buku-buku berkualitas dalam mendidik anak. Atau
jangan-jangan tidak satu buku pun tentang itu yang mereka punya.
3.2 Peranan
Guru dalam Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang
kemudian diimplementasikan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
merupakan kurikulum yang dirancang untuk memberikan peluang seluas-luasnya bagi
sekolah dan tenaga pendidik untuk melakukan praktik-praktik pendidikan dalam
rangka mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik, baik melalui
proses pembelajaran di kelas maupun melalui program pengembangan diri
(ekstrakurikuler). Pengembangan potensi peserta didik tersebut dimaksudkan
untuk memantapkan kesadaran diri tentang kemampuan atau life skill terutama kemampuan
personal (personal skill) yang dimilikinya. Termasuk dalam hal ini adalah pengembangan
potensi peserta didik yang berhubungan dengan karakter dirinya.
Dalam pengembangan karakter peserta didik di
sekolah, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru
merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru atau menjadi idola bagi peserta
didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap
dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan,
karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru
memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter,
berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi,
identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan
secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis.
Ada beberapa strategi yang dapat memberikan
peluang dan kesempatan bagi guru untuk memainkan peranannya secara optimal
dalam hal pengembangan pendidikan karakter peserta didik di sekolah, sebagai
berikut.
1. Optimalisasi peran guru dalam proses pembelajaran. Guru tidak
seharusnya menempatkan diri sebagai aktor yang dilihat dan didengar oleh
peserta didik, tetapi guru seyogyanya berperan sebagai sutradara yang
mengarahkan, membimbing, memfasilitasi dalam proses pembelajaran, sehingga
peserta didik dapat melakukan dan menemukan sendiri hasil belajarnya.
2. Integrasi materi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran.
Guru dituntut untuk perduli, mau dan mampu mengaitkan konsep-konsep pendidikan
karakter pada materi-materi pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampunya.
Dalam hubungannya dengan ini, setiap guru dituntut untuk terus menambah wawasan
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, yang dapat
diintergrasikan dalam proses pembelajaran.
3. Mengoptimalkan kegiatan pembiasaan diri yang berwawasan
pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia. Para guru (pembina program) melalui
program pembiasaan diri lebih mengedepankan atau menekankan kepada
kegiatan-kegiatan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia yang kontekstual,
kegiatan yang menjurus pada pengembangan kemampuan afektif dan psikomotorik.
4. Penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif untuk tumbuh dan
berkembangnya karakter peserta didik. Lingkungan terbukti sangat berperan
penting dalam pembentukan pribadi manusia (peserta didik), baik lingkungan
fisik maupun lingkungan spiritual. Untuk itu sekolah dan guru perlu untuk
menyiapkan fasilitas-fasilitas dan melaksanakan berbagai jenis kegiatan yang
mendukung kegiatan pengembangan pendidikan karakter peserta didik.
5. Menjalin kerjasama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat
dalam pengembangan pendidikan karakter. Bentuk kerjasama yang bisa dilakukan
adalah menempatkan orang tua peserta didik dan masyarakat sebagai fasilitator
dan nara sumber dalam kegiatan-kegiatan pengembangan pendidikan karakter yang
dilaksanakan di sekolah.
6. Menjadi figur teladan bagi peserta didik. Penerimaan peserta
didik terhadap materi pembelajaran yang diberikan oleh seorang guru, sedikit
tidak akan bergantng kepada penerimaan pribadi peserta didik tersevut terhadap
pribadi seorang guru. Ini suatu hal yang sangat manusiawi, dimana seseorang
akan selalu berusaha untuk meniru, mencontoh apa yang disenangi dari
model/pigurnya tersebut. Momen seperti ini sebenarnya merupakan kesempatan bagi
seorang guru, baik secara langsung maupun tidak langsung menanamkan nilai-nilai
karakter dalam diri pribadi peserta didik. Dalam proses pembelajaran,
intergrasi nilai-nilai karakter tidak hanya dapat diintegrasikan ke dalam
subtansi atau materi pelajaran, tetapi juga pada prosesnya
Dalam uraian di atas menggambarkan peranan
guru dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah yang berkedudukan
sebagai katalisator atau teladan, inspirator, motivator, dinamisator, dan
evaluator. Dalam berperan sebagai katalisator, maka keteladanan seorang guru
merupakan faktor mutelak dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik
yang efektif, karena kedudukannya sebagai figur atau idola yang digugu dan
ditiru oleh peserta didik. Peran sebagai inspirator berarti seorang guru harus
mampu membangkitkan semangat peserta didik untuk maju mengembangkan potensinya.
Peran sebagai motivator, mengandung makna bahwa setiap guru harus mampu
membangkitkan spirit, etos kerja dan potensi yang luar biasa pada diri peserta
didik. Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap guru memiliki kemampuan untuk
mendorong peserta didik ke arah pencapaian tujuan dengan penuh kearifan,
kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung tinggi spiritualitas. Sedangkan peran
guru sebagai evaluator, berarti setiap guru dituntut untuk mampu dan selalu
mengevaluasi sikap atau prilaku diri, dan metode pembelajaran yang dipakai
dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik, sehingga dapat diketahui
tingkat efektivitas, efisiensi, dan produktivitas programnya.
Dengan demikian berdasarkan paparan di atas,
dapat disimpulkan bahwa dalam konteks sistem pendidikan di sekolah untuk
mengembangkan pendidikan karakter peserta didik, guru harus diposisikan atau
memposisikan diri pada hakekat yang sebenarnya, yaitu : a) guru merupakan
pengajar dan pendidik, yang berarti disamping mentransfer ilmu pengetahuan,
juga mendidik dan mengembangkan kepribadian peserta didik melalui intraksi yang
dilakukannya di kelas dan luuar kelas; b) guru hendaknya diberikan hak penuh
(hak mutelak) dalam melakukan penilaian (evaluasi) proses pembelajaran, karena
dalam masalah kepribadian atau karakter peserta didik, guru merupakan pihak
yang paling mengetahui tentang kondisi dan perkembangannya; dan c) guru
hendaknya mengembangkan sistem evaluasi yang lebih menitikberatkan pada aspek
afektif, dengan menggunkan alat dan bentuk penilaian essay dan wawancara
langsung dengan peserta didik. Aalat dan bentuk penilaian seperti itu, lebih
dapat mengukur karakteristif setiap peserta didik, serta mampu mengukur sikap
kejujuran, kemandirian, kemampuan berkomunikasi, struktur logika, dan lain
sebagainya yang merupakan bagian dari proses pembentukan karakter positif. Ini
akan terlaksana dengan lebih baik lagi apabila didukung oleh pemerintah selaku
penentu kebijakan.
3.3 Peranan Keluarga dalam Pendidikan
Karakter Anak
Jika
kita melihat fenomena sekarang di berbagai media, merajalelanya tindak
kekerasan, kriminalitas tinggi, juga problem korupsi yang tak kunjung henti
telah menjadi hidangan sehari-hari bangsa ini. Semua yang terlihat, terdengar,
dan terasa itu mengacu pada satu hal, yakni karakter. Hal
itulah yang diungkapkan Sutrisnowati, SH. dalam talkshow SUAP (Suara Untuk Anak
dan Perempuan) tentang “Peranan Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak” di
radio UNISI, Sabtu, 31 Desember 2011. Peran keluarga sangat penting untuk
menyikapi hal tersebut, guna memberikan pemahaman terhadap penerus bangsa ini
(terutama anak-anak). Bagaimana anak akan tumbuh dan berkembang dengan bagus,
jika dalam gambaran kehidupan sehari-hari disajikan tontonan dan lukisan
seperti yang disebutkan di atas. Dengan adanya fenomena tersebut, tak sedikit
orang/pemerintah menjadi gelisah dan berusaha mencari akar masalahnya. Berawal
dari sinilah pendidikan karakter penting untuk dibangun.
Pendidikan karakter menurut Sutrisnowati
perlu dilakukan sejak dini karena anak merupakan gambaran awal manusia menjadi
manusia, di mana usia dua tahun pertama merupakan masa kritis bagi pembentukan
pola penyesuaian personal dan sosial. Bila dasar-dasar kebajikan gagal
ditanamkan pada anak usia dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak
memiliki nilai-nilai kebajikan. Di sini pendidikan karakter (suatu penilaian
subjektif seseorang terhadap orang lain pada kualitas mental dan moral, atau
yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat diterima oleh masyarakat)
menjadi penting dan menjadi suatu kebutuhan bagi bangsa ini guna menumbuhkan
kebajikan dan menghapus budaya negatif yang kian menjamur. Pola asuh
sehari-hari menjadi faktor yang tidak bisa lepas dalam perFigure 1kembangan
karakter seseorang, karena berawal dari sinilah anak mengenal lingkungan juga
pendidikan meski secara bawaan setiap individu memiliki potensi terkait dengan
karakter atau nilai-nilai kebajikan.
Masalah
bagi anak-anak yang menginjak remaja tantangannya lebih besar, peran dari
berbagai pihak pun sangat penting (orang tua, guru, pemerintah, dll.), pola
asuh dalam keluarga yang lebih humanis/setara perlu untuk dilakukan guna
mewujudkan harapan antara anak sebagai individu dan ekspektasi orang tua
tentunya, agar selaras dengan yang diinginkan oleh kedua belah pihak. Di samping
itu, setidaknya orang tua harus memberikan contoh yang baik agar kelak perilaku
anaknya juga baik, karena pada dasarnya anak-anak akan meniru dan mengkopi
hal-hal yang hadir dalam kehidupannya sehari-hari. (Nova Scorviana).
Berbicara tentang pendidikan
karakter, baik kita mulai dengan ungkapan indah Phillips dalam The Great
Learning(2000:11): “If there is righteousness in the heart, there will
be beauty in the character; if there is beauty in the character, there will be
harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in
the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world”.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan
pahit yang kita hadapi seperti dikemukakan di atas, hemat saya, pendidikan
karakter merupakan langkah sangat penting dan strategis dalam membangun kembali
jati diri bangsa dan menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru. Tetapi
penting untuk segara dikemukakan—sebagaimana terlihat dalam pernyataan Phillips
tadi—bahwa pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak;
rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas
(masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris
terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan
pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan
pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumahtangga dan
keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama
dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips,
keluarga hendaklah kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih
sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai “school of
love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa rahmah, tempat
belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.
Islam memberikan perhatian yang
sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis
dari ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan
keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr ummah) yang
merupakan ummah wahidah (bangsa yang satu) dan ummah wasath
(bangsa yang moderat), sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui
keluarga yang dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah wa rahmah.
Berdasarkan sebuah hadits yang
diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama;
keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari
dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian
mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua,
keluarga di mana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi; saling
asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak
berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan
nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga
yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha
meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses
belajar dan pendidikan seumur hidup (life long learning), min
al-mahdi ila al-lahdi.
Datang dari keluarga mawaddah wa
rahmah dengan ciri-ciri seperti di atas, maka anak-anak telah memiliki
potensi dan bekal yang memadai untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah.
Dan, sekali lagi, sekolah—seperti sudah sering dikemukakan banyak
orang--seyogyanya tidak hanya menjadi tempat belajar, namun sekaligus juga
tempat memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan watak dan pendidikan nilai.
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah
sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Seperti dikemukakan
Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru
menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah
lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada
nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John
Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya
sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia
merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola
perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan
karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata
melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau
pendidikan nilai-nilai. Apakah nilai-nilai tersebut? Secara umum, kajian-kajian
tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak,
moral, budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi
terhadap apa yang dipandang manusia sebagai “indah”, apa yang mereka senangi.
Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah
laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat,
baik yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan
standar-standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana
yang baik dan mana yang buruk.
Lingkungan masyarakat luas jelas
memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika
dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, menurut Quraish
Shihab (1996:321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi
sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan
pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya
terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam
banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut
pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama,
solidaritas yang sama. Di sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul gagasan dan
ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tentang fardhu
kifayah, tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan
mencegah nilai-nilai yang buruk.
Saat di layar televisi kita
melihat berbagai tindak kekerasan, pelecehan seksual dan tindak kriminal
lainnya yang terjadi baik dalam keluarga maupun di lingkungan lain, maka muncul
pertanyaan di benak kita : ”Apa yang terjadi dengan bangsa kita ? Pertanyaan
yang sama juga muncul ketika kita mengetahui berbagai tindak KKN di lingkungan
pemerintahan, BUMN, atau perusahaan swasta yang merugikan keuangan negara dalam
hitungan yang tidak terbayangkan. Bahkan ketika gaji kita dipotong tanpa alasan
yang jelas atau kepangkatan kita tertunda hanya karena kurang komisi. Apa yang
didengar, dilihat dan dialami oleh kita tersebut mengacu kepada satu hal, yaitu
karakter.
Karakter dan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangannya
Karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh
berbagai pihak. Sebagian menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif
terhadap kualitas moral danmental, sementara yang lainnya menyebutkan karakter
sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya
merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap
intelektual seseorang (encyclopedia.thefreedictionary.com, 2004). Coon (1983)
mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian
seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat
diterima oleh masyarakat. Sementara itu menurut Megawangi (2003), kualitas
karakter meliputi sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri; (3) Jujur/amanah dan Arif;
(4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan, Suka menolong, dan Gotong-royong; (6)
Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik
dan rendah hati; (9) Toleran, cinta damai dan kesatuan. Jadi, menurut Ratna
Megawangi, orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki
kesembilan pilar karakter tersebut.
Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya,
tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu
dipengaruhi oleh faktorbawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut
para developmental psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang
akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait
dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius – seorang
filsuf terkenal Cina - menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi
mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan
sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi
binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh karena itu,
sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan -
baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas - sangat penting
dalam pembentukan karakter seorang anak.
Jika sosialisasi dan pendidikan (faktor nurture)
sangat penting dalam pendidikan karakter, maka sejak kapan sebaiknya hal itu
dilakukan ? Menurut Thomas Lichona (Megawangi, 2003), pendidikan karakter perlu
dilakukan sejak usia dini. Erik Erikson– yang terkenal dengan teori
Psychososial Development – juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini Erikson
menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa
di mana kebajikan berkembang secara perlahan tapi pasti (dalam Hurlock,
1981). Dengan kata lain, bila dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan pada anak
di usia dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki
nilai-nilai kebajikan. Selanjutnya, White (dalam Hurlock, 1981)menyatakan bahwa
usia dua tahun pertama dalam kehidupan adalah masa kritis bagi pembentukan pola
penyesuaian personal dan sosial.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa karakter
merupakan kualitas moral danmental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi
oleh faktor bawaan (fitrah - nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan
– nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan,
tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan
pendidikan sejak usia dini.
Pembinaan
Karakter Anak yang Dilakukan oleh Keluarga
Pada dasarnya, tugas dasar perkembangan seorang anak
adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja.
Dengan kata lain, tugas utama seorang anak dalam perkembangannya adalah
mempelajari ”aturan main” segala aspek yang ada di dunia ini. Sebagai contoh,
anak harus belajar memahami bahwa setiap benda memiliki hukum tertentu
(hukum-hukum fisika), seperti : benda akan jatuh ke bawah, bukan ke atas atau
ke samping (hukum gravitasi bumi); benda tidak hilang melainkan pindah tempat
(hukum ketetapan obyek), dll. Selain itu, anak juga harus belajar memahami
aturan main dalam hubungan kemasyarakatan, sehingga ada hukum dan sanksi yang
mengatur perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Garbarino & Brofenbrenner (dalam Vasta,
1992), jika suatu bangsa ingin bertahan hidup, maka bangsa tersebut harus
memiliki aturan-aturan yang menetapkan apa yang salah dan apa yang benar, apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang adil dan apa yang tidak
adil, apa yang patut dan tidak patut. Oleh karena itu, perlu ada etika dalam
bicara, aturan dalam berlalu lintas, dan aturan-aturan sosial lainnya. Jika
tidak, hidup ini akan ”semrawut” karena setiap orang boleh berlaku sesuai
keinginannya masing-masing tanpa harus mempedulikan orang lain. Akhirnya antar
sesama menjadi saling menjegal, saling menyakiti, bahkan saling membunuh,
sehingga hancurlah bangsa itu.
Memahami ”aturan main” dalam kehidupan dunia dan
menginternalisasikan dalam dirinya sehingga mampu mengaplikasikan ”aturan main”
tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya merupakan tugas
setiap anak dalam perkembangannya. Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya,
antri, tidak menyeberang jalan dan parkir sembarangan, tidak merugikan atau menyakiti
orang lain, mandiri (tidak memerlukan supervisi) serta perilaku-perilaku lain -
yang menunjukkan adanya pemahaman yang baik terhadap aturan sosial - merupakan
hasil dari perkembangan kualitas moral dan mental seseorang yang disebut
karakter.
Tentu saja kebiasaan baik atau buruk pada diri
seseorang - yang mengindikasikan kualitas karakter ini - tidak terjadi dengan
sendirinya. Telah disebutkan bahwa selainfaktor nature, faktor nurture juga
berpengaruh. Dengan kata lain, proses sosialisasi atau pendidikan yang
dilakukan oleh keluarga, sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang peranan
penting, bahkan mungkin lebih penting, dalam pembentukan karakter seseorang.
Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan tumbuh
menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang
berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang
segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang
sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga, sekolah, media massa, komunitas
bisnis, dan sebagainya - turut andil dalam perkembangan karakter anak. Dengan
kata lain, mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah
tanggung jawab semua pihak. Tentu saja hal ini tidak mudah, oleh karena itu
diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa pendidikan karakter merupakan ”PR”
yang sangat penting untuk dilakukan segera. Terlebih melihat kondisi karakter
bangsa saat ini yang memprihatinkan serta kenyataan bahwa manusia tidak secara
alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia yang berkarakter baik, sebab menurut
Aristoteles (dalam Megawangi, 2003), hal itu merupakan hasil dari usaha seumur
hidup individu dan masyarakat.
a. Keluarga
sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter Anak
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran
penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa
keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika
keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun
akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah
masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta
segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan akibat dari lemahnya
institusi keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama
dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum
PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk
mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh
anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga,
sejahtera”.
Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam
Megawangi, 2003), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk
menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila
keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi
yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi
institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga
merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila
keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit
bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk
memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat
pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap
keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada
pendidikan karakter anak di rumah.
b.
Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak
Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat
mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut Megawangi (2003), ada
tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa
aman, dan stimulasi fisik dan mental.
Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya)
merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini
berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada
anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman
sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang
ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak
akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia
dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia
awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan
lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan
karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan
perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh
negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Bowlby (dalam Megawangi, 2003),
normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya
ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena
tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah
kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan
anak yang optimal.
Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga
merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini
membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara
ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat
perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus,
menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia
di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang
gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang
kreatif.
c. Pola Asuh
Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam keluarga
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai
kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang
diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola
interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik
(seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa
aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku
di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata
lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka
pendidikan karakter anak.
Secara umum, Baumrind mengkategorikan pola asuh
menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Pola asuh Authoritarian, (2) Pola asuh
Authoritative, (3) Pola asuh permissive. Tiga jenis pola asuh Baumrind ini
hampir sama dengan jenis pola asuh menurut Hurlock juga Hardy & Heyes
yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh
permisif.
Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat
semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh
demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang
ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan
penuh pada anak untuk berbuat. Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang
diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri masing-masing pola asuh tersebut,
yaitu sebagai berikut :
· Pola asuh
otoriter mempunyai ciri : Kekuasaan orangtua domina; Anak tidak diakui sebagai
pribadi; Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat; Orangtua menghukum
anak jika anak tidak patuh.
· Pola asuh
demokratis mempunyai ciri :Ada kerjasama antara orangtua – anak; Anak diakui
sebagai pribadi; Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; Ada kontrol dari
orangtua yang tidak kaku.
· Pola asuh
permisif mempunyai ciri : Dominasi pada anak; Sikap longgar atau kebebasan dari
orangtua; Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; Kontrol dan
perhatian orangtua sangat kurang.
Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak
belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter
(yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua)
dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak
untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang
cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri)
terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan
karakter anak oleh keluarga.
Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih
sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua - anak sehingga antara orang tua
dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang
tua) dengan “si patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah,
1993) menunjukan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat
kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan
dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung
menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh
terhadap kualitas karakter anak.
Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan
terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan
karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk
mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang
berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan
berpotensi salah arah.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam
pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih
mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara,
orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang
tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan
anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah. Menurut Arkoff (dalam
Badingah, 1993), anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung
mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau
dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang
dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan
agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak
yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif
secara terbuka atau terang-terangan.
Menurut Middlebrook (dalam Badingah, 1993), hukuman
fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk
membentuk tingkah laku anak karena : (a) menyebabkan marah dan frustasi (dan
ini tidak cocok untuk belajar); (b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan yang
mendorong tingkah laku agresif; (c) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas
sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu
ada orangtua tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada; (d) tingkah
laku agresif orangtua menjadi model bagi anak.
Hasil penelitian Rohner (dalam Megawangi, 2003)
menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil seseorang sangat mempengaruhi
perkembangan kepribadiannya (karakter atau kecerdasan emosinya). Penelitian
tersebut - yang menggunakan teori PAR (Parental Acceptance-Rejection Theory)-
menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima (acceptance) atau
yang menolak (rejection) anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi,
perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa
kelak.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima
adalah anak yang diberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan
kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan,
dan pujian), maupun secara fisik (diberi ciuman, elusan di kepala, pelukan, dan
kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang ditolak adalah anak yang mendapat
perilaku agresif orang tua, baik secara verbal (kata-kata kasar, sindiran
negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan hati), ataupun
secara fisik (memukul, mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua
dapat juga bersifat indifeerence atau neglect, yaitu sifat yang tidak
mepedulikan kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat
undifferentiated rejection, yaitu sifat penolakan yang tidak terlalu tegas
terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai dan diterima oleh orang tua,
walaupun orang tua tidak merasa demikian.
Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh
orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap
berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif
mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri
namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak
dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan
dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya
akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak
mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan
berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap
sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya
berharga.
Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang
diterapkan orang tua kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan
karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan
dalam pembentukan karakter yang baik.
Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang
tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi
anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik
secara verbal maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir,
mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul,
mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif
secara dini.
6. Tidak menanamkan "good character' kepada anak.
Dampak yang
ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, menurut Megawangi akan
menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai
kecerdasan emosi rendah.
1. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain,
dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan,
rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan
menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di
sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak
disenangi oleh orang lain.
2. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang
ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti
orang baik secara verbal maupun fisik.
4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan
berguna.
5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan
sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang
lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau
tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang
tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan
intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan
dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan
terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak
menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada
"peer group"nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
IV.
Simpulan
Penanaman
nilai kepada anak didik butuh keseriusan dan waktu yang panjang. Nilai
ditanamkan kepada anak, semenjak dalam kandungan sampai dewasa. Pendidikan
karakter kembali menemukan momentumnya belakangan ini; bahkan menjadi salah
satu program prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kemendikbudnas). jelas, pendidikan karakter terkait
dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga-tiga
bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat
penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Tetapi, ketiga sumber nilai yang
penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional
sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang berkarakter,
berkeadaban, dan berharkat.
Pada
hakikatnya, manusia memiliki kemampuan untuk meningkatkan kehidupannya, baik
untuk meningkatkan pengetahuan, maupun untuk mengembangkan kepribadian dan
keterampilannya. Saat ini kita tengah berada di pusaran hegemoni media,
revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), yang tidak hanya mampu
menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern,
melainkan juga mengundang serentetan persoalan dan kekhawatiran. Kemajuan zaman
yang terjadi saat ini, yang semula dipandang akan memudahkan pekerjaan manusia,
kenyataannya juga menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi manusia, yaitu
kesepian dan keterasingan baru, yang ditandai dengan lunturnya rasa
solidaritas, kebersamaan, dan silaturrahim.
Berbagai kejadian dan fenomena yang terjadi
di atas semakin membuka mata kita bahwasanya diperlukan obat yang mujarrab dan ampuh untuk bisa
menyelesaikan persoalan tersebut. Pendidikan karakter mungkin bisa menjadi
salah satu solusi untuk mengatasi semua persoalan demikian. Alasan-alasan
kemerosotan moral, dekadensi kemanusiaan yang sesungguhnya terjadi tidak hanya
dalam generasi muda, namun telah menjadi ciri khas abad kita, seharusnya
membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan karakter.
Dalam
pengembangan karakter peserta didik di sekolah, guru memiliki posisi yang
strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa digugu dan
ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi
dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas
dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin
siswa. Pendidikan
karakter menurut Sutrisnowati perlu dilakukan sejak dini karena anak merupakan
gambaran awal manusia menjadi manusia, di mana usia dua tahun pertama merupakan
masa kritis bagi pembentukan pola penyesuaian personal dan sosial.
Masalah
bagi anak-anak yang menginjak remaja tantangannya lebih besar, peran dari
berbagai pihak pun sangat penting (orang tua, guru, pemerintah, dll.), pola
asuh dalam keluarga yang lebih humanis/setara perlu untuk dilakukan guna
mewujudkan harapan antara anak sebagai individu dan ekspektasi orang tua
tentunya, agar selaras dengan yang diinginkan oleh kedua belah pihak.
Dengan demikian, rumahtangga dan
keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama
dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips,
keluarga hendaklah kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih
sayang (Phillips 2000).
Islam memberikan perhatian yang
sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis
dari ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan
keadaan ummah itu sendiri. Sekolah,
pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka.
Seperti dikemukakan Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di
mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah
juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang
berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut,
Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem
sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise),
karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola
perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan
karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata
melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau
pendidikan nilai-nilai. Lingkungan
masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman
nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra, Azyumardi, 2006, “Faith, Values, and Integrity in Public Life”,
makalah disampaikan pada World Ethics Forum: Leadership, Ethics, and Integrity
in Public Life, Oxford, International Institute for Public Ethics (IPPE) dan
The World Banl, 9-12 April, 2006.
Azra, Azyumardi, 2003 (cetakan 2, 2006), Paradigma Baru Pendidikan
Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Kompas.
Azra, Azyumardi, 1999a, “Membangun Kembali Karakter Bangsa: Peran dan
Tantangan Perguruan Tinggi”, makalah disampaikan pada Dies Natalis ke-50
Universitas Gadjah Mada, 13 Nopember 1999.
Azra, Azyumardi, 1999b, “Pembinaan Pendidikan Akhlak Didik pada Era
Reformasi”, pokok-pokok pikiran untuk Seminar tentang Pendidikan Anak dalam
Indonesia Baru, Direktorat Pembinaan Pendidikan Islam pada Sekolah Umum, Depag
RI, Jakarta, 2 Nopember 1999.
Azra, Azyumardi, 1999c, “Catatan tentang Evaluasi atas Arah Pendidikan
serta Fungsionalisasi Pemikiran Pendidikan di Indonesia”, makalah pada Diskusi
Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru
Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.
International Education Foundation, 2000, “The Need for Character
Education”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta,
25-26 Nopember, 2000.
Fraenkel, Jack R., 1977, How to Teach about Values: An Analytical
Approach, Englewood, NJ: Prentice Hall.
Kirschenbaum, Howard & Sydney B. Simon, 1974, “Values and Futures
Movement in Education”, dalam Alvin Toffler (ed.), Learning for Tomorrow:
The Role of the Future in Education, New York: Random House.
Navis, AA, 1999, “Pendidikan dalam Membentuk Watak Bangsa”, makalah pada
Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan
Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.
Phillips, C. Thomas, 2000, “Family as the School of Love”, makalah pada
National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.
Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I atas
Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.
Anonimous, 2000
Bahan Dasar Peningkatan Wawasan Keagamaan (Islam) Guru Bukan
Pendidikan Agama SLTP dan SMA, Depdiknas Dirjen
Dikdasmen Bagian Proyek Peningkatan Wawasan Keagamaan Guru, Jakarta.
Ahmad Tafsir, 2001
Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan Siswa Melalui Mata Pelajaran
Umum, Gema PWKGA Edisi April 2001 : 1 - 5.
Jamal Ma’mur Asmani, 2010
Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta : Penerbit Diva Press.
Kemendiknas, 2010
Draf Pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Jakarta : Kemendiknas.
Kemendiknas, 2010
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Pedoman
Sekolah, Jakarta : Kemendiknas.
Badingah, S. (1993). Agresivitas Remaja Kaitannya
dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran Menonoton Film
Keras. Program Studi Psikologi – Pascasarjana, UI. Depok.
2. Coon, Dennis. (1983). Introduction to Psychology :
Exploration and Aplication. West Publishing Co.
3. http://encyclopedia.thefreedictionary.com. Diakses
tanggal 26 April 2004.
4. Hurlock, E.B. 1981. Child Development. Sixth
Edition. McGraw Hill Kogakusha International Student.
5. Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk
Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation.
6. Vasta, Ross, at all. (1992). Child Psychology : The
Modern Science. John Wiley & Sons Inc.
PERAN SEKOLAH DAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Arul Oktavian
2011-33-135
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Gurun Sekolah Dasar
(PGSD)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muria Kudus
Dipersembahkan untuk Memenuhi Tugas Aplikasi Bahasan
Indonesia
Abstrak
Penanaman
nilai kepada anak didik butuh keseriusan dan waktu yang panjang. Nilai
ditanamkan kepada anak, semenjak dalam kandungan sampai dewasa. Artinya
pendidikan adalah proses yang dijalani seumur hidup. Dalam hadis nabi SAW.
Bersabda: utlubul ilmu minal mahdi ilal
lahdi. Artinya tuntutlah ilmu dari ayunan sampai keliang lahat dari
hadis ini terkandung makna bahwa pendidikan itu tidak terhenti dilikungan
sekolah saja namun tetap berjalan di semua lingkungan tempat peserta
didik tumbuh dan berkembang, yaitu lingkungan keluarga dan masyarakat. Ketiga
komponen inilah yang bertanggung jawab dalam menentukan sikap dan karakter
peserta didik sesuai yang diinginkan.
Pendidikan karakter kembali
menemukan momentumnya belakangan ini; bahkan menjadi salah satu program
prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kemendikbudnas). Meski
sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak perbincangan baik
melalui konperensi, seminar dan pembicaraan publik lainnya, belum banyak
terobosan kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter. Dengan kebijakan
Kemendikbudnas, pendidikan karakter sudah saatnya dapat terlaksana secara
kongkrit melalui lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat luas.
Segera jelas, pendidikan karakter
terkait dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan agama.
Ketiga-tiga bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai
yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau
kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi
panutan bagi masyarakat. Pendidikan—selain mencakup proses transfer dan
transmissi ilmu pengetahuan—juga merupakan proses sangat strategis dalam
menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga
mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk
mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya.
Tetapi, ketiga sumber nilai yang
penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional
sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang berkarakter,
berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi
mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak
luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali
globalisasi.
Pada
hakikatnya, manusia memiliki kemampuan untuk meningkatkan kehidupannya, baik
untuk meningkatkan pengetahuan, maupun untuk mengembangkan kepribadian dan
keterampilannya. Untuk meningkatkan kehidupannya itu, manusia akan selalu
berusaha mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Usaha itu disebut dengan
pendidikan. Dalam GBHN 1973, dikemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha
yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang
dilaksanakan di dalam maupun diluar sekolah.
I.
Pendahuluan
Pembicaran
tentang membangun kembali watak dan karakter guna revitalisasi kebangggaan dan
kehormatan bangsa telah memenuhi ruang publik sejak jatuhnya Presiden Soeharto
dari kekuasaannya pada 1998 hingga sekarang ini—telah lebih daripada satu
dasawarsa. Perubahan-perubahan dramatis, cepat dan berjangka panjang dalam
kehidupan politik yang pada gilirannya juga menimbulkan disorientasi sosial dan
kultural memunculkan wacana dan harapan tentang perlunya pembentukan kembali
watak bangsa; ungkapan Presiden pertama RI, Soekarno tentang ‘nation and
character building’ kembali menemukan relevansinya.
Berakhirnya
kekuasaan Orde Baru, berbarengan dengan munculnya krisis dalam berbagai aspek
kehidupan bangsa telah menimbulkan krisis pula dalam watak dan ketahanan
bangsa. Semakin derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai bentuk dan
ekspresi budaya global merupakan faktor tambahan penting yang mengakibatkan
pengikisan watak bangsa berlangsung semakin lebih cepat dan luas. Akibat lebih
lanjut, krisis watak bangsa menimbulkan disrupsi dan dislokasi dalam kehidupan
sosial dan kultural bangsa, sehingga dapat mengancam integritas dan ketahanan
bangsa secara keseluruhan.
Masa sejak
masa pasca-Soeharto sampai sekarang ini yang sering disebut sebagai “masa
reformasi” kita agaknya hanya mampu mewujudkan sebagian dari cita-cita
pembentukan masyarakat Indonesia yang berkarakter; tetapi masih banyak lagi
agenda yang harus dilakukan. Untuk menyebut satu bidang kehidupan saja,
Indonesia memang menjadi lebih demokratis, bahkan kini mungkin “terlalu
demokratis”. Jika pada masa Soeharto kita memiliki “too little too late
democracy”, kini kita agaknya mempunyai “too much democracy”, yang
secara salah masih saja diekspresikan dalam bentuk demonstrasi yang
berkepanjangan. Dengan demikian, konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya
terwujud, meski Indonesia sukses melaksanakan Pemilu legislatif dan
Presiden 2004; Pemilu Legislatif 9 April 2009, dan Pilpres 8 Juni 2009,
yang juga berjalan relatif aman, dan damai. Namun pada pihak lain, Pemilukada
yang berlangsung seolah-olah tidak pernah putus di berbagai daerah sering
berujung konflik horizontal; keadaban nyaris lenyap dalam aksi-aksi massa yang
terlibat dalam pertikaian politik.
Dengan
begitu terlihat bahwa masyarakat kita mengalami berbagai disorientasi. Karena
itulah harapan dan seruan dari berbagai kalangan masyarakat kita dalam beberapa
tahun terakhir untuk pembangunan kembali watak atau karakter kemanusiaan
melalui pendidikan karakter menjadi semakin meningkat dan nyaring. Kebijakan
Kemendikbudnas mengutamakan pendidikan karakter dapat menjadi momentum
penting dalam konteks ini di tanah air kita.
Jika dilacak
lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu terkait banyak dengan
semakin tiadanya harmoni dalam keluarga (Cf. International Education Foundation
2000). Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan hanya karena menghadapi
krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya
hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama,
sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup
hedonistik dan materialistik; dan permissif sebagaimana banyak ditayangkan
dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya
mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumahtangga.
Akibatnya,
tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari keluarga dan rumahtangga
hampir tidak memiliki watak dan karakter. Banyak di antara anak-anak yang alim
dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan
obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya, seperti
perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak
memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam
karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality).
Sekolah
menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan sekolah selalu
menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa. Padahal,
sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang overload,
fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang
rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan relevansinya
dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan
sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building,
tempat pengajaran daripada pendidikan.
II.
Tinjauan Pustaka
2.1 URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER: Di Lingkungan
Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat
Saat ini kita tengah berada di pusaran hegemoni media, revolusi ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek), yang tidak hanya mampu menghadirkan
sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga
mengundang serentetan persoalan dan kekhawatiran. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat mengurangi atau bahkan menihilkan nilai kemanusiaan atau yang
disebut dehumanisasi.
Ibarat cerita Raja Midas yang menginginkan
setiap yang disentuhnya menjadi emas, ternyata ketika keinginannya dikabulkan
dia tidak semakin senang, tetapi semakin resah bahkan gila. Sebab, tidak saja
rumah dan seisi rumah yan menjadi emas, tetapi istri dan anak yang disentuh pun
menjadi emas sehingga sang raja pun akhirnya meratapi nasib yang kesepian tanpa
ada makhluk hidup yang mendampinginya.
Kemajuan zaman yang terjadi saat ini, yang
semula dipandang akan memudahkan pekerjaan manusia, kenyataannya juga
menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi manusia, yaitu kesepian dan
keterasingan baru, yang ditandai dengan lunturnya rasa solidaritas,
kebersamaan, dan silaturrahim.
Contohnya, penemuan televisi, komputer, dan handphone telah mengakibatkan
sebagian masyarakat terutama remaja dan anak-anak terlena dengan dunia layar.
Layar kemudian menjadi teman setia. Hampir setiap bangun tidur menekan tombol
televisi untuk melihat layar, mengisi waktu luang dengan menekan tombol handphone melihat layar untuk
bersms ria, main game atau facebook-an. Akibatnya, hubungan antar anggota keluarga menjadi renggang.
Ini menunjukkan bahwa terknologi layar mampu membius sebagian besar remaja dan
anak-anak untuk tunduk pada layar dan mengabaikan yang lain.
Thomas Lickona mengungkapkan sepuluh
tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda ini terdapat
dalam suatu bangsa, berarti bangsa tersebut sedang berada di tebing jurang
kehancuran. Tanda-tanda tersebut di antaranya: Pertama, Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Kedua, Penggunaan bahasa dan
kata-kata yang memburuk. Ketiga, Pengaruh peergroup yang kuat dalam tindak kekerasan. Keempat, Meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti penggunaan
narkoba, alkohol dan perilaku seks bebas. Kelima, Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. Keenam, Menurunnya etos kerja. Ketujuh, Semakin rendahnya rasa
hormat pada orangtua dan guru. Kedelapan, Rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara. Kesembilan, Membudayanya
ketidakjujuran. Dan kesepuluh, Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Diakui dan disadari atau tidak, perilaku
masyarakat kita sekarang terutama remaja dan anak-anak menjadi sangat
mengkhawatirkan, karena mengarah kepada apa yang disebut oleh Lickona di atas.
Meningkatnya kasus penggunaan narkoba, pergaulan/ seks bebas, maraknya angka
kekerasan anak-anak dan remaja, kebiasaan menyontek, dan lain-lain menjadi
masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Berbagai kejadian dan fenomena yang terjadi
di atas semakin membuka mata kita bahwasanya diperlukan obat yang mujarrab dan ampuh untuk bisa
menyelesaikan persoalan tersebut. Pendidikan karakter mungkin bisa menjadi
salah satu solusi untuk mengatasi semua persoalan demikian. Alasan-alasan
kemerosotan moral, dekadensi kemanusiaan yang sesungguhnya terjadi tidak hanya
dalam generasi muda, namun telah menjadi ciri khas abad kita, seharusnya
membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan karakter.
Diakui, persoalan karakter atau moral memang
tidak sepenuhnya terabaikan. Akan tetapi, dengan fakta-fakta seputar
kemerosotan karakter pada sekitar kita menunjukkan bahwa ada kegagalan pada
fungsi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam hal menumbuhkan
remaja dan anak-anak yang berkarakter dan berakhlak mulia.
Padahal karakter yang positif atau mulia
yang dimiliki remaja dan anak-anak kelak akan mengangkat status derajatnya.
Kemuliaan seseorang terletak pada karakternya. Karakter begitu penting, karena
dengan karakter yang baik membuat seseorang tahan dan tabah dalam menghadapi
cobaan, dan dapat menjalani hidup dengan sempurna. Kestabilan hidup seseorang
amatlah bergantung pada karakter. Karakter membuat individu menjadi matang,
bertanggung jawab dan produktif.
Atas kondisi demikian, banyak yang
sependapat mengatasi persoalan kemerosotan dalam dimensi karakter ini. Para
pembuat kebijakan, dokter, pemuka agama, pengusaha, pendidik, orangtua dan
masyarakat umum menyuarakan kekhawatiran yang sama. Setiap hari berita berisi
tragedi yang mengejutkan dan statistik mengenai remaja dan anak-anak membuat
kita tercengang, khawatir, dan berusaha mencari jawaban atas persoalan
tersebut.
Bahkan situasi dan kondisi karakter bangsa
yang sedang memprihatinkan telah mendorong pemerintah untuk mengambil inisiatif
untuk memprioritaskan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa
dijadikan arus utama pembangunan nasional. Hal ini mengandung arti bahwa setiap
upaya pembangunan harus selalu diarahkan untuk member dampak positif terhadap
pengembangan karakter. Mengenai hal ini secara konstitusional sesungguhnya
sudah tercermin dari misi pembangunan nasional yang memposisikan pendidikan
karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi
pembangunan nasional, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang 2005-2025, “Terwujudnya
masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan
beradab berdasarkan falsafah Pancasila…”.
Pada Bab IV tentang Arah, Tahapan, Dan
Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025, masih dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025,
menguraikan bahwa “Terwujudnya masyarakat
Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila…” tersebut ditandai
oleh: “… Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan
dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam,
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi
iptek.”
Pembentukan karakter juga merupakan salah
satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 menyebutkan
bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta
didik untuk mempunyai kecerdasan, kepribadian, dan akhlak yang mulia. Amanah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 ini bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia
yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan
lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika
memberikan kata sambutan pada puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional
(Hardiknas) 2010 di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 11 Mei 2010 yang bertemakan
“Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”, Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono mengemukakan ada lima isu penting dalam dunia pendidikan. Pertama, Hubungan pendidikan dengan
pembentukan watak atau dikenal dengan character
building. Kedua, Kaitan pendidikan dengan kesiapan dalam menjalani kehidupan
setelah seseorang selesai mengikuti pendidikan. Ketiga, Kaitan pendidikan dengan lapangan pekerjaan. Ini juga menjadi
prioritas dalam pembangunan lima tahun mendatang. Keempat adalah bagaimana membangun masyarakat berpengetahuan atau knowledge society yang dimulai dari
meningkatkan basis pengetahuan masyarakat. Kelima, Bagaimana membangun budaya inovasi.
Menteri Pendidikan Nasional dalam
sambutannya pada peringatan Hari Pendidikan Nasional Tanggal 2 Mei 2010 juga
menekankan bahwa pembangunan karakter & pendidikan karakter merupakan suatu
keharusan, karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi
cerdas juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga keberadaannya
sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun masyarakat
pada umumnya. Bangsa yang berkarakter unggul, di samping tercermin dari moral,
etika dan budi pekerti yang baik, juga ditandai dengan semangat, tekad dan
energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dan sikap yang optimis, serta
dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi. Totalitas dari
karakter bangsa yang kuat dan unggul, yang pada kelanjutannya bisa meningkatkan
kemandirian dan daya saing bangsa, menuju Indonesia yang maju, bermartabat dan
sejahtera di Abad 21.
Dari Mana Kita Mesti Mulai?
Dalam proses pendidikan karakter, sebelum
mengenal masyarakat yang lebih luas dan sebelum mendapat bimbingan dari
sekolah, seorang anak lebih dulu memperoleh bimbingan dari keluarganya. Dari
kedua orang tua, untuk pertama kali seorang anak mengalami pembentukan karakter
dan mendapatkan pengarahan moral. Dalam keseluruhannya, kehidupan anak juga
lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan keluarga. Itulah sebabnya, pendidikan
keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan
peletak pondasi dari karakter dan pendidikan setelahnya. Dalam hal ini, orang
tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai peserta didik.
Menurut pendapat al-Ghazali, anak-anak
adalah suatu hal yang sangat penting sekali, karena anak sebagai amanat bagi
orang tuanya. Hati anak suci bagaikan mutiara cemerlang, bersih dari segala
ukiran serta gambaran, ia dapat mampu menerima segala yang diukirkan atasnya
dan condong kepada segala yang dicondongkan kepadanya. Maka bila ia dibiasakan
ke arah kebaikan dan diajar kebaikan jadilah ia baik dan berbahagia dunia
akhirat, sedang ayah serta para pendidik-pendidiknya turut mendapat bagian
pahalanya. Tetapi bila dibiasakan berperilaku jelek atau dibiarkan dalam
kejelekan, maka celaka dan rusaklah ia, sedang wali serta pemeliharanya
mendapat beban dosanya. Untuk itu wajiblah wali menjaga anak dari perbuatan
dosa dengan mendidik dan mengajarnya berakhlak bagus, menjaganya dari pengaruh
buruk lingkungan dan teman-temannya.
Tugas orang tua ini akan lebih jelas lagi
bila dihubungkan dengan firman Allah, “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS at-Tahrim: 6).
Keluarga sebagai salah satu dari lingkungan
pendidikan yang paling berpengaruh atas jiwa anak, karena keluarga adalah lingkungan
pertama di mana manusia melakukan komunikasi dan sosialisasi diri dengan
manusia lain selain dirinya. Di lingkungan keluarga pula manusia untuk pertama
kalinya dibentuk; baik sikap maupun kepribadiannya. Maka keluarga mesti
menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang
menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan.
Dalam perspektif pendidikan Islam, agar
keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka
sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya.
Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai,
kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan
pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama
juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak dibolehkan menikah karena ada
hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam, yaitu syirik atau menyekutukan
Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara seorang pria suci dengan
perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan dalam perkawinan
baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan
memperhatikan persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang
mampu menjalankan tugasnya—salah satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar
menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka.
Karena besarnya peran keluarga dalam
pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip Ramayulis (2008),
mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi
dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik
adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik,
juga sebagai penanggung jawab. Oleh karena itu, orang tua dituntut menjadi
teladan bagi anak-anaknya, baik berkenaan dengan ibadah, akhlak, dan
sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang baik dapat terbentuk sejak
dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan
karakter selanjutnya yang akan ia jalani.
Untuk memenuhi harapan tersebut, Al-Qur’an
juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan
membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an
memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah,
warahmah. Firman Allah SWT: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir” (QS ar-Rum: 21).
Selain itu, fungsi keluarga dalam kajian
lingkungan pendidikan Islam, sekurang-kurangnya ada dua, yaitu: (a) Keluarga sebagai institusi sosial.
Di sini orang tua berkewajiban mengembangkan fitrah dan bakat yang dimiliki
anaknya. Pendidikan dalam perspektif ini harusnya tidak menempatkan anak
sebagai objek yang dipaksa mengikuti nalar dan kepentingan pendidikan, tetapi
sebaliknya pendidikan pada anak berarti mengembangkan potensi dasar yang
dimiliki anak yang dimaksud. Potensi yang dimaksud cenderung pada kebenaran.
Karena ia cenderung pada kebenaran, maka orang tua dituntut untuk
mengarahkannya. Dalam kaitannya sebagai institusi sosial, maka keluarga menjadi
bagian dari masyarakat dan negara. Tanggung jawab sosial dalam keluarga akan
menjadi kesadaran bagi perwujudan masyarakat yang baik. Seperti kita mafhumi,
keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama. Di lingkungan ini anak akan
diperkenalkan dengan kehidupan sosial. Adanya interaksi antara anggota keluarga
yang satu dengan keluarga yang lain menyebabkan ia menjadi bagian dari
kehidupan sosial. (b) Keluarga sebagai institusi keagamaan. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang dapat dididik dan membutuhkan pendidikan. Yang jauh
lebih penting lagi adalah peran orangtua menanamkan nilai-nilai keagamaan dan
keimanan anak. Aspek ini membutuhkan kasih sayang, asuhan, dan perlakuan yang
baik. Termasuk yang jauh lebih penting lagi adalah peran orangtua menanamkan
nilai-nilai keagamaan dan keimanan anak. Model pendidikan keimanan yang
diberikan orangtua kepada anak dituntut agar lebih dapat merangsang anak dalam
mencontoh perilaku orangtuanya (uswatun hasanah).
Setelah keluarga, sekolah merupakan lembaga
pendidikan formal, yang menentukan dalam pembentukan kepribadian seorang anak.
Bahkan sekolah, madrasah atau pesantren bisa disebut sebagai lembaga pendidikan
kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan,
mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu
pengetahuan.
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991)
menyebutkan bahwa disebut sekolah bilamana dalam pendidikan tersebut diadakan
di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun
waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Di Indonesia, tampak ada dua jenis
pendidikan, yaitu pendidikan umum dan pendidikan Islam. Yang dikelompokkan
kepada jenis pendidikan umum yaitu SD, SLTP, SMU/ SMK dan Perguruan Tinggi,
sementara lembaga pendidikan yang kemudian diidentikkan dengan lembaga
pendidikan Islam adalah pesantren, madrasah—Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi Islam
dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN
dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang berdasarkan
kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan yang dianut.
Tidak hanya keluarga dan sekolah dalam hal
ini, masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian
penting dalam proses pendidikan karakter, tetapi tidak mengikuti
peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari
sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan
peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan
karakter, masyarakat memiliki juga mempunyai tanggung jawab yang sama dalam
mendidik.
Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan
yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan
karakter. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung
jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu,
dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang
mendukung pendidikan karakter anak dan menghindari masyarakat yang buruk.
Sebab, ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang
kurang baik, maka perkembangan kepribadian atau karakter anak tersebut akan
bermasalah.
Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga,
orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai
tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah
sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung
dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut.
Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa
melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau,
Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman,
pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah
memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Mengingat pentingnya peran masyarakat
sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat
harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan
yang terjadi di dalamnya. Di Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan
berbasis masyarakat (community based
education) sebagai upaya untuk memberdayakan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering
dikaitkan dengan penyelenggaraan lembaga pendidikan formal (sekolah), akan
tetapi dengan konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat
dibutuhkan serta keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan
pendidikan karakter di suatu lembaga pendidikan formal.
Sebagai penutup, pendidikan karakter yang
dicita-citakan hasilnya tidak akan sesuai dengan yang diharapkan ketika salah
satu dari pusat pendidikan karakter di atas (keluarga, sekolah, dan masyarakat)
tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Untuk mengimplementasikan pendidikan
karakter yang berkualitas, maka ketiga lembaga atau lingkungan pendidikan di
atas perlu bekerja sama secara harmonis.
2.2 Keragaman
Budaya dan Multikulturalisme
Padahal dengan membangun karakter kita
dapat memperkokoh jati diri dan ketahanan masyarakat Indonesia multi-kultural,
yang memiliki berbagai ragam budaya. Keragaman budaya merupakan salah satu
kekayaan bangsa ini, yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain. Bahkan secara
konstitusional, baik dalam UUD 1945, Pancasila maupun dalam prinsip
negara bhinneka tunggal ika, keragaman budaya itu sudah mendapatkan
landasannya yang kuat.
Pengakuan terhadap keragaman budaya
itu hampir sama sebangun dengan prinsip multikulturalisme, yang berdasarkan
pada ‘politik pengakuan’ (politics of recognition), mengakui setiap
warga memiliki posisi yang setara satu sama lain. Tak kurang pentingnya,
pengakuan terhadap keragaman itu didasarkan pada prinsip saling menghormati dan
menghargai di tengah berbagai perbedaan yang ada.
Keragaman budaya dan
multi-kulturalisme di tanahair kita dapat terancam jika masing-masing entitas
dan kelompok budaya hanya mengunggulkan budaya masing-masing, dan pada saat
yang sama kurang atau tidak menghargai budaya lainnya. Karena itu, penghargaan
pada keragaman budaya mesti tidak dipandang telah selesai atau dibiarkan
berkembang dengan sendirinya; sebaliknya justru harus diperkuat terus menerus
melalui berbagai jalur interaksi sosial dan pendidikan pada berbagai levelnya.
Dalam konteks itu kita juga mesti
memperkuat bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan ketahanan;
berkepribadian dan berkarakter yang tangguh; berpegang teguh pada nilai-nilai
demokratis dan keadaban; menghargai tinggi law and order; berkeadilan
sosial, politik, dan ekonomi; memiliki kesalehan individual formal dan
kesalehan komunal-sosial sekaligus; berkeadaban (civility) dalam lingkup
civil society; menghargai keragaman dan kehidupan multikultural; dan
memiliki perspektif lokal, nasional dan global sekaligus. Daftar ciri-ciri
ideal ini tentu saja masih bisa ditambah lagi.
Keadaban (civility) ini
penting ditekankan. Karena dalam beberapa tahun terakhir masyarakat kita
cenderung semakin kehilangan “keadaban” (civility). Kita menyaksikan
amuk massa; tawuran kini tidak lagi hanya terjadi di lingkungan pelajar dan
kampung, tetapi juga antar mahasiswa—bahkan di lingkungan satu perguruan
tinggi. Merosotnya keadaban ini juga bisa disaksikan pada berbagai kalangan
masyarakat lainnya; sejak semakin meluasnya KKN melalui “desentralisasi”
korupsi yang menumpang desentralisasi dan otonomi daerah. Banyak anak bangsa
telah kehilangan “rasa malu”, sehingga keadabannya hampir tidak terlihat sama
sekali. Bisa dipastikan, kenyataan ini merupakan gejala terjelas dari krisis
sosial yang semakin parah dalam masyarakat kita. Karena itulah kita perlu
kembali berbicara tentang pendidikan karakter.
III. Uraian
3.1
Pendidikan Karakter
Sekarang ini mulai digadang-gadangkan pendidikan
karakter. Dulu juga sudah, tapi mungkin proses dan hasilnya kurang dari apa
yang diharapkan, maka wacana akan pendidikan ini digeliatkan lagi. Mengapa
pendidikan karakter, ada apa dengan karakter anak bangsa Indonesia?
Jika kita memperhatikan manusia Indonesia produk paruh
kedua abad terakhir ini, cukup rasanya membuat perasaan kita miris. Fenomena
anomali yang bersifat ironi dan paradoks menjadi tayangan yang dapat disaksikan
dalam keseharian kita. Pendidik yang seharusnya mendidik malah harus dididik,
penegak hukum yang semestinya menegakkan hukum ternyata harus dihukum, pejabat
yang seyogianya melayani masyarakat, terbalik minta dilayani, dan orang-orang
ternama yang hendaknya jadi panutan malah mempertontonkan laku jelek.
Semua yang tersebut di atas bersumber dari karakter.
Dalam bahasa agama, akhlak. Karena itu menjadi amat penting dan mendesak untuk
dilembagakan suatu pola pendidikan yang menekankan kebaikan karakter. Orang
lebih dapat eksis dengan karakter yang baik daripada dengan otak cerdas tapi
perilaku tercela. Bahkan menurut penelitian Daniel Goleman, kecerdasan otak
atau IQ hanya menyumbang 20 persen bagi kesuksesan hidup seseorang, sedang 80
persennya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.
Dalam ungkapan Inggris, habit is second nature,
kebiasaan adalah watak kedua. Artinya, karakter yang terlembaga pada diri
seseorang itu tidak lain adalah tumpukan-tumpukan kebiasaan yang bermula dari
sesuatu yang kecil saja. Sebagaimana tersebut dalam pepatah, “Sow a thought,
reap an action; sow an action, reap a habit; sow a habit, reap a character; sow
a character, reap a destiny.” Taburlah gagasan, tuailah perbuatan; taburlah
perbuatan, tuailah kebiasaan; taburlah kebiasaan, tuailah karakter; dan
taburlah karakter, maka tuailah takdir.
Mengutip apa yang dikatakan Aristotelis: “we are
what we repeatedly to do. Excellence, then, is not an act, but a habit,”
kita adalah apa yang kita lakukan secara berulang-ulang. Karena itu, keunggulan
bukanlah suatu perbuatan, melainkan suatu kebiasaan. Maka sebenarnya yang
dimaksudkan dalam pendidikan karakter adalah pendidikan habituatif, yaitu
pendidikan untuk membiasakan nilai-nilai kebaikan di dalam kehidupan anak sejak
dini.
Kembali meminjam bahasa agama, bahwa manusia itu pada
hakikatnya adalah baik. fitrah manusia itu adalah hanif, lurus, tidak
membangkang pada kebaikan yang sudah dipatenkan Tuhan. Hanya saja, dalam
perjalanan, berbagai hal mempengaruhi hidupnya, sehingga menjadilah ia sebagai
mana ia menjadi. Tetapi perlu diingat, bahwa karakter bukanlah sesuatu yang
bersifat statik, permanen, ia tidak lain hanyalah jalinan yang tercipta dari
suatu kebiasaan, sedang kebiasaan itu bisa diubah. Meski sulit, tapi tidak ada
yang mustahil.
Bagaimana menerapkan pendidikan karakter di tengah
kehidupan yang anomali dan paradoks ini? Tentu bukan sesuatu yang mudah, namun
juga bukan suatu yang mustahil untuk dilakukan dan nihil dalam menghasilkan
tujuan. Masih besar kemungkinan, dan masih panjang perjalanan untuk terus
melakukan sesuatu yang berarti.
Pendidikan karakter masuk kelas, itu
memang seharusnya. Lebih dari itu, ia juga harus ditanamkan melalui
kegiatan-kegiatan pembiasaan yang pelaksanaannya baik dilakukan secara spontan,
terencana, maupun melalui keteladanan. Perlu diingat kembali pepatah tersebut
di atas, bahwa sumber perilaku itu adalah pikiran. Dari mana pikiran itu
tercipta, bisa melalui proses abstraksi dari apa yang dilihat, hubungan
pergaulan yang dirasa, dan pengetahuan yang didengar dari
guru-guru.
Menarik untuk diketengahkan, dalam
suatu pendidikan pesantren, pimpinan Pondok Modern Gontor Ponorogo selalu
menekankan ucapan ini pada santri-santrinya, bahwa apa yang kamu lihat, kamu
dengar, dan kamu rasakan di Pondok modern ini adalah pendidikan. Karena itu
semua yang ada di Pondok harus terlibat dan berupaya menonjolkan sesuatu yang
terbaik dari dirinya, agar semuanya mendapatkan pelajaran.
Seorang pendidik yang baik
setidaknya sadar, bahwa penglihatan, perasaan, dan pendengaran biasanya
bersifat sequence atau berurutan. Seorang anak akan sulit menerima
tuturan-tuturan bijak yang didengarnya dari sang guru kalau dia melihat tindakan
dan merasakan hubungan yang tidak baik dari gurunya. Karena itu penting untuk
meneladankan nilai-nilai kebaikan dalam perilaku sehari-hari agar para murid
melihat; menciptakan hubungan yang baik agar mereka merasa; dan mengarahkan
mereka pada suatu hal yang baik dan benar agar mereka mau mendengar dan
melakukan.
Apa yang dilihat anak memberi andil yang cukup besar
dalam melahirkan pikiran untuk berperilaku. Karena itu dalam kegiatan
intrakurikuler dan ekstrakurikuler, pendidikan karakter harus dimasukkan. Dalam
kurikulum muatan lokal misalnya, seorang guru bisa saja mengajak anak-anak
didik ke luar kelas untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mendidik dari
lingkungan. Bukankah prinsip dari kurikulum ini adalah memperkenalkan pada anak
wawasan budaya bangsa, lingkungan, dan keterampilan daerah.
Namun sekolah hanyalah tangan kedua,
pada dasarnya yang paling berpengaruh dalam membetuk karakter anak adalah
keluarga. Masalahnya orang tua sekarang banyak yang tidak punya waktu untuk
memberikan perhatian pada wilayah ini, bahkan untuk mau tahu saja sulit.
Buktikan saja, berapa banyak orang tua yang meluangkan waktu untuk menambah
pengetahuan dengan membaca buku-buku berkualitas dalam mendidik anak. Atau
jangan-jangan tidak satu buku pun tentang itu yang mereka punya.
3.2 Peranan
Guru dalam Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang
kemudian diimplementasikan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
merupakan kurikulum yang dirancang untuk memberikan peluang seluas-luasnya bagi
sekolah dan tenaga pendidik untuk melakukan praktik-praktik pendidikan dalam
rangka mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik, baik melalui
proses pembelajaran di kelas maupun melalui program pengembangan diri
(ekstrakurikuler). Pengembangan potensi peserta didik tersebut dimaksudkan
untuk memantapkan kesadaran diri tentang kemampuan atau life skill terutama kemampuan
personal (personal skill) yang dimilikinya. Termasuk dalam hal ini adalah pengembangan
potensi peserta didik yang berhubungan dengan karakter dirinya.
Dalam pengembangan karakter peserta didik di
sekolah, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru
merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru atau menjadi idola bagi peserta
didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap
dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan,
karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru
memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter,
berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi,
identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan
secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis.
Ada beberapa strategi yang dapat memberikan
peluang dan kesempatan bagi guru untuk memainkan peranannya secara optimal
dalam hal pengembangan pendidikan karakter peserta didik di sekolah, sebagai
berikut.
1. Optimalisasi peran guru dalam proses pembelajaran. Guru tidak
seharusnya menempatkan diri sebagai aktor yang dilihat dan didengar oleh
peserta didik, tetapi guru seyogyanya berperan sebagai sutradara yang
mengarahkan, membimbing, memfasilitasi dalam proses pembelajaran, sehingga
peserta didik dapat melakukan dan menemukan sendiri hasil belajarnya.
2. Integrasi materi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran.
Guru dituntut untuk perduli, mau dan mampu mengaitkan konsep-konsep pendidikan
karakter pada materi-materi pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampunya.
Dalam hubungannya dengan ini, setiap guru dituntut untuk terus menambah wawasan
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, yang dapat
diintergrasikan dalam proses pembelajaran.
3. Mengoptimalkan kegiatan pembiasaan diri yang berwawasan
pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia. Para guru (pembina program) melalui
program pembiasaan diri lebih mengedepankan atau menekankan kepada
kegiatan-kegiatan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia yang kontekstual,
kegiatan yang menjurus pada pengembangan kemampuan afektif dan psikomotorik.
4. Penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif untuk tumbuh dan
berkembangnya karakter peserta didik. Lingkungan terbukti sangat berperan
penting dalam pembentukan pribadi manusia (peserta didik), baik lingkungan
fisik maupun lingkungan spiritual. Untuk itu sekolah dan guru perlu untuk
menyiapkan fasilitas-fasilitas dan melaksanakan berbagai jenis kegiatan yang
mendukung kegiatan pengembangan pendidikan karakter peserta didik.
5. Menjalin kerjasama dengan orang tua peserta didik dan masyarakat
dalam pengembangan pendidikan karakter. Bentuk kerjasama yang bisa dilakukan
adalah menempatkan orang tua peserta didik dan masyarakat sebagai fasilitator
dan nara sumber dalam kegiatan-kegiatan pengembangan pendidikan karakter yang
dilaksanakan di sekolah.
6. Menjadi figur teladan bagi peserta didik. Penerimaan peserta
didik terhadap materi pembelajaran yang diberikan oleh seorang guru, sedikit
tidak akan bergantng kepada penerimaan pribadi peserta didik tersevut terhadap
pribadi seorang guru. Ini suatu hal yang sangat manusiawi, dimana seseorang
akan selalu berusaha untuk meniru, mencontoh apa yang disenangi dari
model/pigurnya tersebut. Momen seperti ini sebenarnya merupakan kesempatan bagi
seorang guru, baik secara langsung maupun tidak langsung menanamkan nilai-nilai
karakter dalam diri pribadi peserta didik. Dalam proses pembelajaran,
intergrasi nilai-nilai karakter tidak hanya dapat diintegrasikan ke dalam
subtansi atau materi pelajaran, tetapi juga pada prosesnya
Dalam uraian di atas menggambarkan peranan
guru dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah yang berkedudukan
sebagai katalisator atau teladan, inspirator, motivator, dinamisator, dan
evaluator. Dalam berperan sebagai katalisator, maka keteladanan seorang guru
merupakan faktor mutelak dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik
yang efektif, karena kedudukannya sebagai figur atau idola yang digugu dan
ditiru oleh peserta didik. Peran sebagai inspirator berarti seorang guru harus
mampu membangkitkan semangat peserta didik untuk maju mengembangkan potensinya.
Peran sebagai motivator, mengandung makna bahwa setiap guru harus mampu
membangkitkan spirit, etos kerja dan potensi yang luar biasa pada diri peserta
didik. Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap guru memiliki kemampuan untuk
mendorong peserta didik ke arah pencapaian tujuan dengan penuh kearifan,
kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung tinggi spiritualitas. Sedangkan peran
guru sebagai evaluator, berarti setiap guru dituntut untuk mampu dan selalu
mengevaluasi sikap atau prilaku diri, dan metode pembelajaran yang dipakai
dalam pengembangan pendidikan karakter peserta didik, sehingga dapat diketahui
tingkat efektivitas, efisiensi, dan produktivitas programnya.
Dengan demikian berdasarkan paparan di atas,
dapat disimpulkan bahwa dalam konteks sistem pendidikan di sekolah untuk
mengembangkan pendidikan karakter peserta didik, guru harus diposisikan atau
memposisikan diri pada hakekat yang sebenarnya, yaitu : a) guru merupakan
pengajar dan pendidik, yang berarti disamping mentransfer ilmu pengetahuan,
juga mendidik dan mengembangkan kepribadian peserta didik melalui intraksi yang
dilakukannya di kelas dan luuar kelas; b) guru hendaknya diberikan hak penuh
(hak mutelak) dalam melakukan penilaian (evaluasi) proses pembelajaran, karena
dalam masalah kepribadian atau karakter peserta didik, guru merupakan pihak
yang paling mengetahui tentang kondisi dan perkembangannya; dan c) guru
hendaknya mengembangkan sistem evaluasi yang lebih menitikberatkan pada aspek
afektif, dengan menggunkan alat dan bentuk penilaian essay dan wawancara
langsung dengan peserta didik. Aalat dan bentuk penilaian seperti itu, lebih
dapat mengukur karakteristif setiap peserta didik, serta mampu mengukur sikap
kejujuran, kemandirian, kemampuan berkomunikasi, struktur logika, dan lain
sebagainya yang merupakan bagian dari proses pembentukan karakter positif. Ini
akan terlaksana dengan lebih baik lagi apabila didukung oleh pemerintah selaku
penentu kebijakan.
3.3 Peranan Keluarga dalam Pendidikan
Karakter Anak
Jika
kita melihat fenomena sekarang di berbagai media, merajalelanya tindak
kekerasan, kriminalitas tinggi, juga problem korupsi yang tak kunjung henti
telah menjadi hidangan sehari-hari bangsa ini. Semua yang terlihat, terdengar,
dan terasa itu mengacu pada satu hal, yakni karakter. Hal
itulah yang diungkapkan Sutrisnowati, SH. dalam talkshow SUAP (Suara Untuk Anak
dan Perempuan) tentang “Peranan Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak” di
radio UNISI, Sabtu, 31 Desember 2011. Peran keluarga sangat penting untuk
menyikapi hal tersebut, guna memberikan pemahaman terhadap penerus bangsa ini
(terutama anak-anak). Bagaimana anak akan tumbuh dan berkembang dengan bagus,
jika dalam gambaran kehidupan sehari-hari disajikan tontonan dan lukisan
seperti yang disebutkan di atas. Dengan adanya fenomena tersebut, tak sedikit
orang/pemerintah menjadi gelisah dan berusaha mencari akar masalahnya. Berawal
dari sinilah pendidikan karakter penting untuk dibangun.
Pendidikan karakter menurut Sutrisnowati
perlu dilakukan sejak dini karena anak merupakan gambaran awal manusia menjadi
manusia, di mana usia dua tahun pertama merupakan masa kritis bagi pembentukan
pola penyesuaian personal dan sosial. Bila dasar-dasar kebajikan gagal
ditanamkan pada anak usia dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak
memiliki nilai-nilai kebajikan. Di sini pendidikan karakter (suatu penilaian
subjektif seseorang terhadap orang lain pada kualitas mental dan moral, atau
yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat diterima oleh masyarakat)
menjadi penting dan menjadi suatu kebutuhan bagi bangsa ini guna menumbuhkan
kebajikan dan menghapus budaya negatif yang kian menjamur. Pola asuh
sehari-hari menjadi faktor yang tidak bisa lepas dalam perFigure 1kembangan
karakter seseorang, karena berawal dari sinilah anak mengenal lingkungan juga
pendidikan meski secara bawaan setiap individu memiliki potensi terkait dengan
karakter atau nilai-nilai kebajikan.
Masalah
bagi anak-anak yang menginjak remaja tantangannya lebih besar, peran dari
berbagai pihak pun sangat penting (orang tua, guru, pemerintah, dll.), pola
asuh dalam keluarga yang lebih humanis/setara perlu untuk dilakukan guna
mewujudkan harapan antara anak sebagai individu dan ekspektasi orang tua
tentunya, agar selaras dengan yang diinginkan oleh kedua belah pihak. Di samping
itu, setidaknya orang tua harus memberikan contoh yang baik agar kelak perilaku
anaknya juga baik, karena pada dasarnya anak-anak akan meniru dan mengkopi
hal-hal yang hadir dalam kehidupannya sehari-hari. (Nova Scorviana).
Berbicara tentang pendidikan
karakter, baik kita mulai dengan ungkapan indah Phillips dalam The Great
Learning(2000:11): “If there is righteousness in the heart, there will
be beauty in the character; if there is beauty in the character, there will be
harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in
the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world”.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan
pahit yang kita hadapi seperti dikemukakan di atas, hemat saya, pendidikan
karakter merupakan langkah sangat penting dan strategis dalam membangun kembali
jati diri bangsa dan menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru. Tetapi
penting untuk segara dikemukakan—sebagaimana terlihat dalam pernyataan Phillips
tadi—bahwa pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak;
rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas
(masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris
terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan
pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan
pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.
Dengan demikian, rumahtangga dan
keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama
dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips,
keluarga hendaklah kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih
sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai “school of
love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa rahmah, tempat
belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.
Islam memberikan perhatian yang
sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis
dari ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan
keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr ummah) yang
merupakan ummah wahidah (bangsa yang satu) dan ummah wasath
(bangsa yang moderat), sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui
keluarga yang dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah wa rahmah.
Berdasarkan sebuah hadits yang
diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama;
keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari
dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian
mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua,
keluarga di mana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi; saling
asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak
berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan
nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga
yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha
meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses
belajar dan pendidikan seumur hidup (life long learning), min
al-mahdi ila al-lahdi.
Datang dari keluarga mawaddah wa
rahmah dengan ciri-ciri seperti di atas, maka anak-anak telah memiliki
potensi dan bekal yang memadai untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah.
Dan, sekali lagi, sekolah—seperti sudah sering dikemukakan banyak
orang--seyogyanya tidak hanya menjadi tempat belajar, namun sekaligus juga
tempat memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan watak dan pendidikan nilai.
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah
sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Seperti dikemukakan
Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru
menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah
lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada
nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John
Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya
sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia
merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola
perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan
karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata
melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau
pendidikan nilai-nilai. Apakah nilai-nilai tersebut? Secara umum, kajian-kajian
tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak,
moral, budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi
terhadap apa yang dipandang manusia sebagai “indah”, apa yang mereka senangi.
Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah
laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat,
baik yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan
standar-standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana
yang baik dan mana yang buruk.
Lingkungan masyarakat luas jelas
memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika
dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, menurut Quraish
Shihab (1996:321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi
sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan
pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya
terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam
banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut
pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama,
solidaritas yang sama. Di sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul gagasan dan
ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tentang fardhu
kifayah, tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan
mencegah nilai-nilai yang buruk.
Saat di layar televisi kita
melihat berbagai tindak kekerasan, pelecehan seksual dan tindak kriminal
lainnya yang terjadi baik dalam keluarga maupun di lingkungan lain, maka muncul
pertanyaan di benak kita : ”Apa yang terjadi dengan bangsa kita ? Pertanyaan
yang sama juga muncul ketika kita mengetahui berbagai tindak KKN di lingkungan
pemerintahan, BUMN, atau perusahaan swasta yang merugikan keuangan negara dalam
hitungan yang tidak terbayangkan. Bahkan ketika gaji kita dipotong tanpa alasan
yang jelas atau kepangkatan kita tertunda hanya karena kurang komisi. Apa yang
didengar, dilihat dan dialami oleh kita tersebut mengacu kepada satu hal, yaitu
karakter.
Karakter dan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangannya
Karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh
berbagai pihak. Sebagian menyebutkan karakter sebagai penilaian subyektif
terhadap kualitas moral danmental, sementara yang lainnya menyebutkan karakter
sebagai penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya
merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap
intelektual seseorang (encyclopedia.thefreedictionary.com, 2004). Coon (1983)
mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian
seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat
diterima oleh masyarakat. Sementara itu menurut Megawangi (2003), kualitas
karakter meliputi sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri; (3) Jujur/amanah dan Arif;
(4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan, Suka menolong, dan Gotong-royong; (6)
Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik
dan rendah hati; (9) Toleran, cinta damai dan kesatuan. Jadi, menurut Ratna
Megawangi, orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki
kesembilan pilar karakter tersebut.
Karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya,
tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu
dipengaruhi oleh faktorbawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Menurut
para developmental psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan yang
akan termanisfestasi setelah dia dilahirkan, termasuk potensi yang terkait
dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Dalam hal ini, Confusius – seorang
filsuf terkenal Cina - menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi
mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan
sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi
binatang, bahkan lebih buruk lagi (Megawangi, 2003). Oleh karena itu,
sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan -
baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas - sangat penting
dalam pembentukan karakter seorang anak.
Jika sosialisasi dan pendidikan (faktor nurture)
sangat penting dalam pendidikan karakter, maka sejak kapan sebaiknya hal itu
dilakukan ? Menurut Thomas Lichona (Megawangi, 2003), pendidikan karakter perlu
dilakukan sejak usia dini. Erik Erikson– yang terkenal dengan teori
Psychososial Development – juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini Erikson
menyebutkan bahwa anak adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu masa
di mana kebajikan berkembang secara perlahan tapi pasti (dalam Hurlock,
1981). Dengan kata lain, bila dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan pada anak
di usia dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki
nilai-nilai kebajikan. Selanjutnya, White (dalam Hurlock, 1981)menyatakan bahwa
usia dua tahun pertama dalam kehidupan adalah masa kritis bagi pembentukan pola
penyesuaian personal dan sosial.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa karakter
merupakan kualitas moral danmental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi
oleh faktor bawaan (fitrah - nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendikan
– nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan,
tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan
pendidikan sejak usia dini.
Pembinaan
Karakter Anak yang Dilakukan oleh Keluarga
Pada dasarnya, tugas dasar perkembangan seorang anak
adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja.
Dengan kata lain, tugas utama seorang anak dalam perkembangannya adalah
mempelajari ”aturan main” segala aspek yang ada di dunia ini. Sebagai contoh,
anak harus belajar memahami bahwa setiap benda memiliki hukum tertentu
(hukum-hukum fisika), seperti : benda akan jatuh ke bawah, bukan ke atas atau
ke samping (hukum gravitasi bumi); benda tidak hilang melainkan pindah tempat
(hukum ketetapan obyek), dll. Selain itu, anak juga harus belajar memahami
aturan main dalam hubungan kemasyarakatan, sehingga ada hukum dan sanksi yang
mengatur perilaku anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Garbarino & Brofenbrenner (dalam Vasta,
1992), jika suatu bangsa ingin bertahan hidup, maka bangsa tersebut harus
memiliki aturan-aturan yang menetapkan apa yang salah dan apa yang benar, apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang adil dan apa yang tidak
adil, apa yang patut dan tidak patut. Oleh karena itu, perlu ada etika dalam
bicara, aturan dalam berlalu lintas, dan aturan-aturan sosial lainnya. Jika
tidak, hidup ini akan ”semrawut” karena setiap orang boleh berlaku sesuai
keinginannya masing-masing tanpa harus mempedulikan orang lain. Akhirnya antar
sesama menjadi saling menjegal, saling menyakiti, bahkan saling membunuh,
sehingga hancurlah bangsa itu.
Memahami ”aturan main” dalam kehidupan dunia dan
menginternalisasikan dalam dirinya sehingga mampu mengaplikasikan ”aturan main”
tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-baiknya merupakan tugas
setiap anak dalam perkembangannya. Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya,
antri, tidak menyeberang jalan dan parkir sembarangan, tidak merugikan atau menyakiti
orang lain, mandiri (tidak memerlukan supervisi) serta perilaku-perilaku lain -
yang menunjukkan adanya pemahaman yang baik terhadap aturan sosial - merupakan
hasil dari perkembangan kualitas moral dan mental seseorang yang disebut
karakter.
Tentu saja kebiasaan baik atau buruk pada diri
seseorang - yang mengindikasikan kualitas karakter ini - tidak terjadi dengan
sendirinya. Telah disebutkan bahwa selainfaktor nature, faktor nurture juga
berpengaruh. Dengan kata lain, proses sosialisasi atau pendidikan yang
dilakukan oleh keluarga, sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang peranan
penting, bahkan mungkin lebih penting, dalam pembentukan karakter seseorang.
Menurut Megawangi (2003), anak-anak akan tumbuh
menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang
berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang
segara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang
sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga, sekolah, media massa, komunitas
bisnis, dan sebagainya - turut andil dalam perkembangan karakter anak. Dengan
kata lain, mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah
tanggung jawab semua pihak. Tentu saja hal ini tidak mudah, oleh karena itu
diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa pendidikan karakter merupakan ”PR”
yang sangat penting untuk dilakukan segera. Terlebih melihat kondisi karakter
bangsa saat ini yang memprihatinkan serta kenyataan bahwa manusia tidak secara
alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia yang berkarakter baik, sebab menurut
Aristoteles (dalam Megawangi, 2003), hal itu merupakan hasil dari usaha seumur
hidup individu dan masyarakat.
a. Keluarga
sebagai Wahana Pertama dan Utama Pendidikan Karakter Anak
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran
penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa
keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika
keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun
akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah
masyarakat - seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta
segala macam kebobrokan di masyarakat - merupakan akibat dari lemahnya
institusi keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama
dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum
PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk
mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh
anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga,
sejahtera”.
Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam
Megawangi, 2003), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk
menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila
keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi
yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi
institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga
merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila
keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit
bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk
memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat
pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap
keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada
pendidikan karakter anak di rumah.
b.
Aspek-aspek Penting dalam Pendidikan Karakter Anak
Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat
mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut Megawangi (2003), ada
tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa
aman, dan stimulasi fisik dan mental.
Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya)
merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini
berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada
anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman
sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson, dasar kepercayaan yang
ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun-tahun pertama kehidupan anak
akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia
dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia
awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan
lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan
karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan
perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang berganti-ganti juga akan berpengaruh
negatif pada perkembangan emosi anak. Menurut Bowlby (dalam Megawangi, 2003),
normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasanya
ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena
tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah
kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan
anak yang optimal.
Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga
merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Tentu saja hal ini
membutuhkan perhatian yang besar dari orang tua dan reaksi timbal balik antara
ibu dan anaknya. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat
perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus,
menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia
di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang
gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang
kreatif.
c. Pola Asuh
Menentukan Keberhasilan Pendidikan Karakter Anak dalam keluarga
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai
kebajikan (karakter) pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang
diterapkan orang tua pada anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola
interaksi antara anak dengan orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik
(seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa
aman, kasih sayang dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku
di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata
lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam rangka
pendidikan karakter anak.
Secara umum, Baumrind mengkategorikan pola asuh
menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Pola asuh Authoritarian, (2) Pola asuh
Authoritative, (3) Pola asuh permissive. Tiga jenis pola asuh Baumrind ini
hampir sama dengan jenis pola asuh menurut Hurlock juga Hardy & Heyes
yaitu: (1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh
permisif.
Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat
semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh
demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang
ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan
penuh pada anak untuk berbuat. Kita dapat mengetahui pola asuh apa yang
diterapkan oleh orang tua dari ciri-ciri masing-masing pola asuh tersebut,
yaitu sebagai berikut :
· Pola asuh
otoriter mempunyai ciri : Kekuasaan orangtua domina; Anak tidak diakui sebagai
pribadi; Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat; Orangtua menghukum
anak jika anak tidak patuh.
· Pola asuh
demokratis mempunyai ciri :Ada kerjasama antara orangtua – anak; Anak diakui
sebagai pribadi; Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; Ada kontrol dari
orangtua yang tidak kaku.
· Pola asuh
permisif mempunyai ciri : Dominasi pada anak; Sikap longgar atau kebebasan dari
orangtua; Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua; Kontrol dan
perhatian orangtua sangat kurang.
Melalui pola asuh yang dilakukan oleh orang tua, anak
belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter
(yang cenderung menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orang tua)
dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh pada anak
untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang
cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri)
terhadap hasil pendidikan karakter anak. Artinya, jenis pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya menentukan keberhasilan pendidikan
karakter anak oleh keluarga.
Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih
sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orangtua - anak sehingga antara orang tua
dan anak seakan memiliki dinding pembatas yang memisahkan “si otoriter” (orang
tua) dengan “si patuh” (anak). Studi yang dilakukan oleh Fagan (dalam Badingah,
1993) menunjukan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat
kenakalan keluarga, di mana keluarga yang broken home, kurangnya kebersamaan
dan interaksi antar keluarga, dan orang tua yang otoriter cenderung
menghasilkan remaja yang bermasalah. Pada akhirnya, hal ini akan berpengaruh
terhadap kualitas karakter anak.
Pola asuh permisif yang cenderung memberi kebebesan
terhadap anak untuk berbuat apa saja sangat tidak kondusif bagi pembentukan
karakter anak. Bagaimana pun anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk
mengenal mana yang baik mana yang salah. Dengan memberi kebebasan yang
berlebihan, apalagi terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan
berpotensi salah arah.
Pola asuh demokratis tampaknya lebih kondusif dalam
pendidikan karakter anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Baumrind yang menunjukkan bahwa orangtua yang demokratis lebih
mendukung perkembangan anak terutama dalam kemandirian dan tanggungjawab. Sementara,
orangtua yang otoriter merugikan, karena anak tidak mandiri, kurang
tanggungjawab serta agresif, sedangkan orangtua yang permisif mengakibatkan
anak kurang mampu dalam menyesuaikan diri di luar rumah. Menurut Arkoff (dalam
Badingah, 1993), anak yang dididik dengan cara demokratis umumnya cenderung
mengungkapkan agresivitasnya dalam tindakan-tindakan yang konstruktif atau
dalam bentuk kebencian yang sifatnya sementara saja. Di sisi lain, anak yang
dididik secara otoriter atau ditolak memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan
agresivitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan merugikan. Sementara itu, anak
yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif
secara terbuka atau terang-terangan.
Menurut Middlebrook (dalam Badingah, 1993), hukuman
fisik yang umum diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk
membentuk tingkah laku anak karena : (a) menyebabkan marah dan frustasi (dan
ini tidak cocok untuk belajar); (b) adanya perasaan-perasaan menyakitkan yang
mendorong tingkah laku agresif; (c) akibat-akibat hukuman itu dapat meluas
sasarannya, misalnya anak menahan diri untuk memukul atau merusak pada waktu
ada orangtua tetapi segera melakukan setelah orangtua tidak ada; (d) tingkah
laku agresif orangtua menjadi model bagi anak.
Hasil penelitian Rohner (dalam Megawangi, 2003)
menunjukkan bahwa pengalaman masa kecil seseorang sangat mempengaruhi
perkembangan kepribadiannya (karakter atau kecerdasan emosinya). Penelitian
tersebut - yang menggunakan teori PAR (Parental Acceptance-Rejection Theory)-
menunjukkan bahwa pola asuh orang tua, baik yang menerima (acceptance) atau
yang menolak (rejection) anaknya, akan mempengaruhi perkembangan emosi,
perilaku, sosial-kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dewasa
kelak.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak yang diterima
adalah anak yang diberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan
kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan,
dan pujian), maupun secara fisik (diberi ciuman, elusan di kepala, pelukan, dan
kontak mata yang mesra). Sementara, anak yang ditolak adalah anak yang mendapat
perilaku agresif orang tua, baik secara verbal (kata-kata kasar, sindiran
negatif, bentakan, dan kata-kata lainnya yang dapat mengecilkan hati), ataupun
secara fisik (memukul, mencubit, atau menampar). Sifat penolakan orang tua
dapat juga bersifat indifeerence atau neglect, yaitu sifat yang tidak
mepedulikan kebutuhan anak baik fisik maupun batin, atau bersifat
undifferentiated rejection, yaitu sifat penolakan yang tidak terlalu tegas
terlihat, tetapi anak merasa tidak dicintai dan diterima oleh orang tua,
walaupun orang tua tidak merasa demikian.
Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh
orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap
berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif
mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri
namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak
dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan
dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya
akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak
mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan
berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap
sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya
berharga.
Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang
diterapkan orang tua kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan
karakter anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan
dalam pembentukan karakter yang baik.
Menurut Megawangi (2003) ada beberapa kesalahan orang
tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi
anak sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik
secara verbal maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir,
mengecilkan anak, dan berkata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul,
mencubit, dan memberikan hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif
secara dini.
6. Tidak menanamkan "good character' kepada anak.
Dampak yang
ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, menurut Megawangi akan
menghasilkan anak-anak yang mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai
kecerdasan emosi rendah.
1. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain,
dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena sejak kecil mengalami kemarahan,
rasa tidak percaya, dan gangguan emosi negatif lainnya. Ketika dewasa ia akan
menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang di
sekitarnya. la kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak
disenangi oleh orang lain.
2. Secara emosiol tidak responsif, dimana anak yang
ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti
orang baik secara verbal maupun fisik.
4. Menjadi minder, merasa diri tidak berharga dan
berguna.
5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan
sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang
lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau
tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang
tidak dapat dipreaiksi oleh orang lain.
7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan
intelektual. Dampak negatif lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan
dapat memicu kenakalan remaja, tawuran, dan lainnya.
8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan
terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak
menjadikan orang tuannya sebagai ”role model” Anak akan lebih percaya kepada
"peer group"nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.
IV.
Simpulan
Penanaman
nilai kepada anak didik butuh keseriusan dan waktu yang panjang. Nilai
ditanamkan kepada anak, semenjak dalam kandungan sampai dewasa. Pendidikan
karakter kembali menemukan momentumnya belakangan ini; bahkan menjadi salah
satu program prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kemendikbudnas). jelas, pendidikan karakter terkait
dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga-tiga
bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat
penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Tetapi, ketiga sumber nilai yang
penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional
sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang berkarakter,
berkeadaban, dan berharkat.
Pada
hakikatnya, manusia memiliki kemampuan untuk meningkatkan kehidupannya, baik
untuk meningkatkan pengetahuan, maupun untuk mengembangkan kepribadian dan
keterampilannya. Saat ini kita tengah berada di pusaran hegemoni media,
revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), yang tidak hanya mampu
menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern,
melainkan juga mengundang serentetan persoalan dan kekhawatiran. Kemajuan zaman
yang terjadi saat ini, yang semula dipandang akan memudahkan pekerjaan manusia,
kenyataannya juga menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi manusia, yaitu
kesepian dan keterasingan baru, yang ditandai dengan lunturnya rasa
solidaritas, kebersamaan, dan silaturrahim.
Berbagai kejadian dan fenomena yang terjadi
di atas semakin membuka mata kita bahwasanya diperlukan obat yang mujarrab dan ampuh untuk bisa
menyelesaikan persoalan tersebut. Pendidikan karakter mungkin bisa menjadi
salah satu solusi untuk mengatasi semua persoalan demikian. Alasan-alasan
kemerosotan moral, dekadensi kemanusiaan yang sesungguhnya terjadi tidak hanya
dalam generasi muda, namun telah menjadi ciri khas abad kita, seharusnya
membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan karakter.
Dalam
pengembangan karakter peserta didik di sekolah, guru memiliki posisi yang
strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa digugu dan
ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi
dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas
dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin
siswa. Pendidikan
karakter menurut Sutrisnowati perlu dilakukan sejak dini karena anak merupakan
gambaran awal manusia menjadi manusia, di mana usia dua tahun pertama merupakan
masa kritis bagi pembentukan pola penyesuaian personal dan sosial.
Masalah
bagi anak-anak yang menginjak remaja tantangannya lebih besar, peran dari
berbagai pihak pun sangat penting (orang tua, guru, pemerintah, dll.), pola
asuh dalam keluarga yang lebih humanis/setara perlu untuk dilakukan guna
mewujudkan harapan antara anak sebagai individu dan ekspektasi orang tua
tentunya, agar selaras dengan yang diinginkan oleh kedua belah pihak.
Dengan demikian, rumahtangga dan
keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama
dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips,
keluarga hendaklah kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih
sayang (Phillips 2000).
Islam memberikan perhatian yang
sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis
dari ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan
keadaan ummah itu sendiri. Sekolah,
pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka.
Seperti dikemukakan Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di
mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah
juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang
berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut,
Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem
sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise),
karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola
perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan
karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata
melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau
pendidikan nilai-nilai. Lingkungan
masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman
nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra, Azyumardi, 2006, “Faith, Values, and Integrity in Public Life”,
makalah disampaikan pada World Ethics Forum: Leadership, Ethics, and Integrity
in Public Life, Oxford, International Institute for Public Ethics (IPPE) dan
The World Banl, 9-12 April, 2006.
Azra, Azyumardi, 2003 (cetakan 2, 2006), Paradigma Baru Pendidikan
Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Kompas.
Azra, Azyumardi, 1999a, “Membangun Kembali Karakter Bangsa: Peran dan
Tantangan Perguruan Tinggi”, makalah disampaikan pada Dies Natalis ke-50
Universitas Gadjah Mada, 13 Nopember 1999.
Azra, Azyumardi, 1999b, “Pembinaan Pendidikan Akhlak Didik pada Era
Reformasi”, pokok-pokok pikiran untuk Seminar tentang Pendidikan Anak dalam
Indonesia Baru, Direktorat Pembinaan Pendidikan Islam pada Sekolah Umum, Depag
RI, Jakarta, 2 Nopember 1999.
Azra, Azyumardi, 1999c, “Catatan tentang Evaluasi atas Arah Pendidikan
serta Fungsionalisasi Pemikiran Pendidikan di Indonesia”, makalah pada Diskusi
Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru
Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.
International Education Foundation, 2000, “The Need for Character
Education”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta,
25-26 Nopember, 2000.
Fraenkel, Jack R., 1977, How to Teach about Values: An Analytical
Approach, Englewood, NJ: Prentice Hall.
Kirschenbaum, Howard & Sydney B. Simon, 1974, “Values and Futures
Movement in Education”, dalam Alvin Toffler (ed.), Learning for Tomorrow:
The Role of the Future in Education, New York: Random House.
Navis, AA, 1999, “Pendidikan dalam Membentuk Watak Bangsa”, makalah pada
Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan
Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999.
Phillips, C. Thomas, 2000, “Family as the School of Love”, makalah pada
National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000.
Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I atas
Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.
Anonimous, 2000
Bahan Dasar Peningkatan Wawasan Keagamaan (Islam) Guru Bukan
Pendidikan Agama SLTP dan SMA, Depdiknas Dirjen
Dikdasmen Bagian Proyek Peningkatan Wawasan Keagamaan Guru, Jakarta.
Ahmad Tafsir, 2001
Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan Siswa Melalui Mata Pelajaran
Umum, Gema PWKGA Edisi April 2001 : 1 - 5.
Jamal Ma’mur Asmani, 2010
Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta : Penerbit Diva Press.
Kemendiknas, 2010
Draf Pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Jakarta : Kemendiknas.
Kemendiknas, 2010
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Pedoman
Sekolah, Jakarta : Kemendiknas.
Badingah, S. (1993). Agresivitas Remaja Kaitannya
dengan Pola Asuh, Tingkah Laku Agresif Orang Tua dan Kegemaran Menonoton Film
Keras. Program Studi Psikologi – Pascasarjana, UI. Depok.
2. Coon, Dennis. (1983). Introduction to Psychology :
Exploration and Aplication. West Publishing Co.
3. http://encyclopedia.thefreedictionary.com. Diakses
tanggal 26 April 2004.
4. Hurlock, E.B. 1981. Child Development. Sixth
Edition. McGraw Hill Kogakusha International Student.
5. Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk
Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation.
6. Vasta, Ross, at all. (1992). Child Psychology : The
Modern Science. John Wiley & Sons Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar